Fitnah yang dialamatkan kepada saya terkait penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah fitnah yang amat keji dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum dan fakta. Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saya, dan kehormatan saya, di ujung masa pengabdian saya sebagai hakim demi meloloskan pasangan calon tertentu.
Lagipula perkara pengujuan undang-undang hanya menyangkut norma, bukan kasus konkret. Dan pengambilan putusannya pun bersifat kolektif kolegial oleh 9 orang hakim konstitusi bukan oleh seorang ketua semata.
Demikian pula dalam alam demokrasi seperti saat ini, rakyatlah yang akan menentukan siapa calon pemimpin yang akan dipilihnya kelak sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang walaupun calon itu sudah ada di laihul mahfud.
Baca Juga:Israel ‘Merencanakan Kebohongan Publik’ untuk Menyerang Rumah Sakit Indonesia di GazaPersahabatan Israel-Indonesia Punya Potensi Besar, Begini Penjelasan Alumni UGM Heru Subagia
Dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai hakim karier saya tetap mematuhi asas dan norma yang berlaku di dalam memutus perkara dimaksud. Terkait dengan isu konflik kepentingan (conflict of interest), sejak era kepemimpinan Prof Jimly Asshiddiqie dalam Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, kemudian Putusan 066/PUU-II/2004, kemudian Putusan Nomor 5/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi.
Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, kemudian Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 di era kepemimpinan Prof. Dr. Mahfud MD, Putusan Nomor 97/PUU- XI/2013, kemudian Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era kepemimpinan Bapak Hamdan Zoelva.
Lalu Putusan Perkara 53/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era kepemimpinan Prof. Dr. Arief Hidayat.
Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua dan ketika itu saya adalah Ketua MK dan wakilnya adalah Prof. Dr. Aswanto, meskipun menyangkut diri saya.
Namun, saya tetap melakukan dissenting opinion termasuk kepentingan langsung Prof. Dr. Saldi Isra dalam pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat.
Dengan berbagai yurisprudensi di atas yang pada intinya menjelaskan bahwa perkara pengujian UU di Mahkamah Konstitusi adalah penanganan perkara yang bersifat umum bukan penanganan perkara yang bersifat pribadi atau individual yang bersifat privat.
Maka, berdasarkan yurisprudensi di atas dan norma hukum yang berlaku, pertanyaannya adalah “Apakah sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua Hakim Konstitusi, saya harus mengingkari putusan-putusan terdahulu?”. Karena disebabkan adanya tekanan publik atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula. Atau saya harus mundur dari penanganan perkara 96/PUU-XVIII/2020 demi menyelamatkan diri sendiri.