SRI Hartini sudah puluhan tahun menjalankan tugasnya sebagai penjaga Hutan Adat Wonosadi di Kapanewon Ngawen, Gunung Kidul.
Dia secara sukarela menerima tanggung jawab ini dari ayahnya Sudiyo, sebelum ayahnya meninggal pada tahun 2011.
“Ayah meninggalkan pesan yang menyentuh hati saya. Jangan sampai kita mewariskan air mata kepada anak cucu kita, tapi mewariskannya dengan musim semi,” kata Sri, Selasa (24/10).
Baca Juga:Cawapres Ganjar Pranowo Bertemu Jokowi, Mahfud MD Bilang Ini“Presiden Terpilih Bisa Stabilkan Harga Pangan dan Kebutuhan Dasar Masyarakat”
Di usianya yang menginjak lima tahun, ia tak pernah melewatkan satu hari pun untuk memeriksa hutan, termasuk pepohonan, sumber air bersih yang tersumbat dedaunan, dan memastikan semuanya tetap terjaga.
Sedangkan Sudiyo dikenal sebagai pelopor pelestarian hutan adat yang hampir musnah akibat pembalakan liar pada tahun 1965-66.
Saat itu, kondisi petani sangat sulit karena air untuk bercocok tanam tidak mencukupi. Mayoritas penduduk di sana adalah petani.
Untuk memulihkan hutan, Sudiro membentuk kelompok penjaga hutan bernama Ngudi Lestari yang dipimpinnya sendiri.
Sejak saat itu, Sri selalu diajak pergi ke hutan dan mempelajari hal-hal penting tentang ekosistem. Namun, itu bukanlah hal yang mudah bagi Sri.
Ada keraguan tentang dirinya saat pertama kali menjalankan tugasnya sebagai kepala penjaga hutan karena bias gender.
“Dulu, banyak orang yang meragukan kelayakan saya menjadi kepala jagawana karena saya perempuan,” kenangnya.
Baca Juga:Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Keluarkan Risalah Rekomendasi, Berikut Ini IsinyaJokowi Bakal Lantik KSAD Pengganti Jenderal Dudung Abdurachman
Namun ia selalu ingat pesan ayahnya untuk terus menjaga hutan. Alasan itulah yang memotivasi dirinya untuk mengemban tugas memimpin kelompok ranger yang hanya terdiri dari laki-laki.
“Mau tidak mau, saya harus bisa melakukannya. Saya percaya Tuhan akan membantu upaya kita menjaga kelestarian alam,” ujarnya.
Hutan Adat Wonosadi memiliki luas sekitar 25 hektar dan terletak di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Keanekaragaman flora dan fauna ada di sana, termasuk pohon asam Jawa (Tamarindus indica) yang berumur ratusan tahun. (*)