Menurut Heru, zaman dahulu kendaraan rakyat untuk mengangkut hasil bumi umumnya mengunakan gerobak atau pedati yang ditarik kerbau atau sapi yang ada khususnya di pulau Jawa. Seseorang yang menjadi pengendali gerobak sapi dinamakan bajingan.
“Ada dua versi tentang sebutan bajingan pada pengendali gerobak sapi. Versi pertama adalah orang yang memang mengendalikan jalannya sapi, sedangkan versi kedua adalah para pengawal yang disewa oleh saudagar pemilik gerobak sapi demi keamanan muatannya dari bahaya perampokan,” ungkapnya.
Namun, versi pertama yang umumnya dipergunakan. Jasa para bajingan juga dahulu digunakan oleh para kepala daerah seperti lurah, bekel, kuwu atau bupati untuk mengangkut pajak hasil bumi.
Baca Juga:Mengapa Kata Bajingan Jadi Sentimen di Masyarakat?Kunjungi Kota Wali, Sekjen DPP AWDI Bicara Pembangunan Cirebon
Dalam perkembangannya bajingan berubah menjadi konotasi negatif dikarenakan lambatnya perjalanan seekor sapi mengakibatkan juragan pemilik gerobak menjadi tidak sabar menunggu, dan terkadang pengawal gerobak sapi yang tidak jujur juga mencuri sebagian muatannya.
“Juragan pemilik gerobak mengeluarkan kata umpatan “dasar bajingan”,” ujar pria asal Magelang ini.
Lebih lanjut, kata Heru, sebenarnya Rocky Gerung membantu mengembangkan budaya baca dan tanya dalam masyarakat Indonesia yang memiliki peringkat membaca yang rendah. Itu akan terlihat ketika publik bersemangat membicarakan kata ‘bajingan’ dari ragam sudut pandang. Untuk memberikan argumen yang kuat diperlukan rujukan bacaan yang sahih sebagai dasar argumen yang dilontarkan. Paling tidak gara-gara Rocky Gerung orang terdorong untuk mengulik pengetahuan tentang kata ‘bajingan’.
“Dewasa ini kritik mengalami pendangkalan arti dan makna. Seringkali, kritik dituduh sebagai aktivitas penghinaan ataupun mencela kekuasaan yang sedang berlangsung,” tandasnya.
Menurutnya, hari-hari ini kehidupan politik sedang diterkam oleh pendangkalan nalar sehingga membuat masyarakat cenderung gelisah dan bimbang. Alhasil, situasi ini membuat masyarakat pasif terhadap politik karena tak memiliki kompas penuntun di tengah belantara demokrasi. Kritisisme adalah kompas di tengah belantara demokrasi ini. Nyaris, tak mungkin di tengah arus informasi yang membludak dalam ruang publik kita menolak pemikiran kritis-analitis.
Dibutuhkan intelektualitas yang baik, imbuh Heru, dalam memilih dan menyerap setiap wacana yang mengalir deras dalam keseharian. Namun, realitas hari ini malah hendak mengikis kebiasaan kritik dalam masyarakat, karena kritik dianggap sebagai sebuah hinaan bahkan lecehan. Apalagi, jika kritik tanpa solusi adalah sebuah kebodohan bagi sebagian elit dalam media massa.