Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berpesan agar Polri transparan dalam mengusut kasus tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage (IDS) yang diduga akibat kelalaian seniornya saat memperlihatkan senjata api rakitan ilegal.
Reza menegaskan, polisi perlu menjelaskan kelalaian seperti apa yang menyebabkan tewasnya Bripda IDF.
“Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal Blue Curtain Code, Kode Tirai Biru,” katanya yang dihubungi di Jakarta, Antara, Minggu, 30 Juli.
Baca Juga:Menteri Airlangga Hartarto Santer Dalam Penyidikan Dugaan Korupsi Izin Ekspor CPOGanjar Sudah Mulai Galak, Akankah Bernasib Surya Paloh ?
Kode Tirai Biru ini, kata Reza, adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps.
Menurut dia, temuan tentang adanya kode senyap (Kode Tirai Biru) tersebut kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus.
Karena, baru setahun yang lalu masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan tragedi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya sendiri, yakni Ferdy Sambo.
Peristiwa itu memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi peristiwa dan faktanya. Hingga akhirnya pihak keluarga Brigadir Josua dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak.
Kriminolog itu mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka pihak keluarga yang menduga Bripda IDF dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisime masif warganet.
Namun, ia tidak merekomendasikan Polri untuk melibatkan Kompolnas sebagai pihak eksternal dalam tim investigasi tersebut karena catatan sejarah dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua, Komisi Kepolisian Nasional mengiyakan “investigasi” Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Brigadir Josua karena baku tembak.
Pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas dalam investasi adalah harga mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Baca Juga:Satu Keluarga, 8 Korban Meninggal Dunia Tertabrak Kereta Api Rapih Dhoho di JombangAkui Culik Aktivis, Prabowo Subianto ke Budiman Sudjatmiko: Saya Kembalikan Semua. Saya Tidak Tahu Kenapa Sebagian Tidak Pernah Kembali ke Rumah
“Ya, apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik,” katanya.
Terkait kelalaian yang disampaikan Polri, Reza menyebut pihak keluarga bisa saja melayangkan gugatan kepada Polri. Hal ini ini sudah lazim dilakukan masyarakat di negara-negara Barat.
“Di Barat, sudah sering warga menggugat polisi atas police misconduct. Kelalaian pun bisa menjadi materi gugatan. Demi menghindari proses hukum, polisi biasanya pilih memberikan kompensasi langsung ke keluarga korban,” katanya.