Praktik yang paling umum adalah “cipta persepsi”, di mana masyarakat dibuat untuk percaya bahwa kandidat tertentu memiliki karakter A, B, C, dan seterusnya. Peliknya adalah, menurut Francis Fukuyama, media sosial memainkan peran sentral dalam cipta persepsi tersebut. Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama menyebut media sosial telah menjadi medium dalam mengkristalnya persepsi politik.
Pada ujungnya, mengulang pernyataan Bivitri, jika pemilu hanya menempatkan rakyat sebagai penonton, maka pernyataan pemilu sebagai kemewahan demokrasi tampaknya perlu untuk dipertanyakan secara serius.
Di luar sana, berbagai strategi pemenangan dengan mempermainkan psikologi masyarakat telah menjadi habituasi umum berbagai entitas politik. Jika situasi ini berlaku universal dan terus terjadi, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Pilpres 2024 merupakan perang operasi intelijen antara pihak-pihak yang berkompetisi. (*)