Sama seperti tebaran baliho Puan Maharani, penyodoran nama-nama kandidat secara berkala merupakan tahap infiltrasi dalam operasi penggalangan intelijen. Nama-nama yang ada berusaha disusupkan ke ingatan masyarakat.
Setelah berhasil melakukan infiltrasi, tahapnya berlanjut ke intensifikasi/eksploitasi. Caranya dengan meningkatkan intensitas kampanye dan variasi-variasinya – bisa dengan blusukan, membuat konten di media sosial, hingga memberi sumbangan ke masyarakat.
Ujung atau tujuan dari strategi ini tentunya agar masyarakat memilih nama-nama tersebut jika nantinya maju di Pilpres 2024. Ini disebut Irawan Sukarno sebagai “to bring the target to our direction”, mengarahkan target pada kondisi atau persepsi yang diinginkan.
Baca Juga:Konflik PDI 27 Juli 1996 Berujung Kerusuhan yang Telan Rp 100 MiliarKode Keras Ganjar Pranowo Lengser di Balik Rekayasa Penjegalan Maju Di Pilpres 2024?
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri menjelaskan operasi intelijen menjadi jantung keberhasilan rezim Orde Baru dalam mempertahankan kekuasaannya. Secara khusus, As’ad menyebutnya sebagai “rekayasa politik”.
Salah satu yang paling dikenal adalah fusi partai politik pada tahun 1973 menjadi tiga, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan representasi Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang membawa nilai nasionalisme, dan Golongan Karya (Golkar) yang secara tersirat merupakan representasi kekuasaan Soeharto.
Fusi ini adalah bagian dari operasi cipta kondisi, yang mana tujuannya untuk menciptakan stabilitas politik, menyetir PPP dan PDI, serta menempatkan Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto. As’ad juga menjelaskan terdapat operasi intelijen untuk menempatkan “orang Soeharto” mengisi posisi ketua umum PPP dan PDI.
Yang paling menarik, menurut As’ad, perolehan suara partai ternyata juga merupakan hasil campur tangan Operasi Khusus (Opsus) yang dikomandoi oleh Ali Moertopo.
Pada Pemilu 1977, misalnya, prestasi PPP menduduki peringkat kedua dengan memperoleh kemenangan di Aceh dan Jakarta merupakan politik perimbangan dan penghibur, agar mayoritas masyarakat yang beragama Islam merasa bangga bisa menguasai dua daerah prestisius, yakni Jakarta dan Aceh.
Yang patut menjadi catatan adalah, kendati pun rezim Orde Baru telah tumbang, menurut informasi yang dihimpun oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) deliknews, operasi penggalangan intelijen nyatanya masih diadopsi dalam strategi dan operasi pemilu.