“Pernahkah kita bersikap kritis atas sodoran nama-nama yang diberikan partai politik? Apakah rakyat memiliki wewenang untuk menolak nama yang tertera di kertas suara?” ungkap Bondhan, Kamis (27/7).
Pada Pilpres 2019, misalnya, idak ada cek ombak panjang seperti yang dijelaskan Bondhan, nama Ma’ruf Amin tiba-tiba keluar sebagai pasangan Jokowi. Pun demikian pada kasus majunya Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo Subianto.
Apakah rakyat memiliki wewenang untuk menolak, atau setidaknya bersikap kritis? Bukankah kita seperti wayang yang hanya menjadi bagian dari drama? Suka atau tidak, kita harus memilih nama-nama yang ditentukan partai politik.
Baca Juga:Konflik PDI 27 Juli 1996 Berujung Kerusuhan yang Telan Rp 100 MiliarKode Keras Ganjar Pranowo Lengser di Balik Rekayasa Penjegalan Maju Di Pilpres 2024?
Atas fakta ini, ungkapan “the lesser evil” kemudian menjadi slogan pamungkas di setiap gelaran pilpres. Pada Pilpres 2019, misalnya, mudah untuk menemukan ungkapan, “asalkan jangan Prabowo”, begitu pula sebaliknya.
Selain fakta bahwa penetapan nama-nama seolah menjadi wewenang mutlak partai politik, persoalan lain yang membuat penegasan Bivitri menjadi semakin penting adalah, bagaimana pemilu itu dilaksanakan. Salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama, dalam tulisannya What is Liberalism?, menjelaskan bahwa demokrasi tanpa liberalisme bukanlah demokrasi.
Maksud Fukuyama sederhana. Inti dari demokrasi adalah kewenangan rakyat memilih pemimpin atau wakilnya. Sementara inti liberalisme adalah kebebasan individu. Sekarang pertanyaannya, bagaimana rakyat berwenang memilih pemimpinnya jika tidak memiliki kebebasan memilih?
Stephen Dawson dalam tulisannya Electoral fraud and the paradox of political competition, menjelaskan pemilu adalah kompetisi yang penuh dengan tipuan, dan salah satu medium penipuannya adalah media.
Seperti yang disebutkan Bondhan, penyodoran nama-nama kandidat secara berkala adalah tes ombak. Namun, apabila kita mempelajari operasi intelijen, penyebutan yang tepat atas itu sebenarnya adalah “operasi penggalangan”.
Menurut Bondhan, telah dijelaskan bahwa operasi intelijen kerap diadopsi dalam strategi dan operasi politik, khususnya pemilu. Dalam ilmu intelijen, operasi penggalangan intelijen umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi.
Sementara, Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, membaginya lebih rinci ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.