Atas nama demokrasi, pada 2024 nanti kita akan mengadakan pemilihan presiden (Pilpres) untuk menentukan penerus Joko Widodo (Jokowi). Namun, mungkinkah pemilu yang dilaksanakan hanyalah operasi intelijen? Benarkah pemilu hanyalah “pemanis” demokrasi?
Pertanyaan ini bahkan sudah disodorkan ke publik sejak Joko Widodo (Jokowi) baru dilantik untuk periode keduanya. Secara berkala berbagai lembaga survei menyodorkan nama-nama yang dinilai potensial maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Terkait nama-nama yang ada, sekiranya kita semua sudah mengetahui. Mereka adalah menteri, kepala daerah, dan petinggi partai politik. Ketika diwawancarai deliknews, pengamat intelijen dari Caruban Nagari Institute Bondhan Wibisono menjelaskan bahwa munculnya nama-nama itu tidak bisa disebut prematur.
Baca Juga:Konflik PDI 27 Juli 1996 Berujung Kerusuhan yang Telan Rp 100 MiliarKode Keras Ganjar Pranowo Lengser di Balik Rekayasa Penjegalan Maju Di Pilpres 2024?
Penyodoran nama-nama merupakan tes ombak untuk melihat seberapa besar penerimaan publik. Survei elektabilitas dilakukan secara berkala untuk melihat perkembangan keterpilihan kandidat. Apakah mengalami penurunan, stagnan, atau justru meningkat.
Di titik ini, rasa-rasanya pertanyaan banyak pihak sekiranya satu. Dari deretan nama-nama itu, siapa yang layak dipilih sebagai penerus Jokowi?
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti dalam tulisannya Rakyat Hanya Penonton dalam Drama Pilpres memberikan penekanan menarik yang sangat penting untuk direnungkan.
“Pemilihan presiden serupa drama dengan banyak pertikaian dan pelukan. Namun, dalam drama itu, rakyat hanya menjadi penonton yang akan diikutkan saat tirai panggung ditutup,” jelas Bivitri.
“Demokrasi bukan pertunjukan. Demokrasi sejatinya adalah aksi konkret rakyat dalam menentukan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi bagaimana negara ini dikelola,” lanjutnya.
Penegasan Bivitri mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya Negara Teater. Menurut antropolog Amerika Serikat (AS) ini, pertunjukan kekuasaan di Indonesia layaknya teater yang memperlihatkan dan memainkan simbol-simbol. Yang menarik, menurut Geertz, rakyat seperti tidak punya pilihan dan kehilangan daya kritis, sehingga larut begitu saja dalam pertunjukan kekuasaan.
Rakyat ibarat wayang yang menemukan dirinya mengisi peran-peran tertentu. Ada yang berkorban demi kebaikan raja (baca: penguasa) di akhirat, ada yang menabuh gendang agar pertunjukan menjadi ramai, dan ada pula yang sadar posisinya hanya sebagai penonton.