Pada 1945, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Cerita soal bom yang diciptakan fisikawan Julius Robert Oppenheimer tersebut dipercaya sebagai penyebab Jepang menyerah sekaligus mengakhiri Perang Dunia II (WWII).
Namun, ternyata ada opini lain soal biang kerok Jepang angkat tangan. Tak lain adalah Uni Soviet yang menyerbu tentara Jepang untuk meruntuhkan kekuasaan Negeri Wasabi di Asia Timur.
Dalam hitungan hari, jutaan tentara Jepang akhirnya tumbang. Momentum ini kerap terlupakan dari catatan sejarah. Sebab, peristiwa bom Hiroshima dan Nagasaki lebih populer digaungkan.
Baca Juga:Aipda M, Polisi Terlibat TPPO Penjualan Ginjal Bertugas di Polresta BekasiBahlil Pertanyakan Nasionalisme WNI yang Pindah Kewarganegaraan ke Singapura
Dikutip dari National Post, Jumat (21/7/2023), pemimpin Soviet Joseph Stalin sejatinya telah melakukan kesepakatan khusus dengan Washington dan London. Ia berjanji akan menyerang Jepang dalam jangka 3 bulan pasca kekalahan Jerman.
Untuk menyukseskan taktik tersebut, Stalin mengerahkan lebih dari 1 juta tentara di sepanjang perbatasan Manchuria. Operasi itu dilakukan pada 9 Agustus 1945, ketika bom Nagasaki dijatuhkan.
Dalam 2 minggu pertempuran antara Jepang dan Soviet, sebanyak 84.000 tentara Jepang tewas dan 12.000 tentara Soviet gugur.
“Keterlibatan Soviet dalam perang memiliki dampak lebih besar ketimbang bom atom, yang menyebabkan Jepang menyerah. Sebab, penyerangan itu memupuskan harapan Jepang bahwa Moskow bisa memediasi perdamaian,” kata sejarawan Tsuyoshi Hasegawa pada 2010 lalu.
Pasalnya, meski ratusan ribu nyawa melayang gara-gara bom atom, namun Jepang masih optimis bisa melawan Sekutu jika mereka mempertahankan wilayah Manchuria dan Korea.
Sayangnya, serangan soviet mengubah total peta strategis Jepang. Pimpinan Tokyo menyadari sudah tak ada harapan bagi mereka untuk memenangkan perang.
Diketahui, AS menjatuhkan bom atom karena cemas invasi ke Jepang bisa menggugurkan pasukannya. (*)