Muninggar Sri Saraswati dalam tulisannya berjudul The Political Campaign Industry and The Rise of Disinformation in Indonesia (2021) yang diterbitkan oleh The ISEAS – Yusof Ishak Institute berargumen bahwa tren penggunaan relawan dalam disinformasi ini dimulai pada tahun 2012 ketika media sosial mulai ramai digunakan di Indonesia, utamanya dalam politik. Jika dulu elite politik mempertahankan kuasa dengan kekuatan uang dan kekuasaan, sekarang kehadiran relawan yang menjadi buzzer di media sosial menjadi pilihan lainnya –dan terbukti sukses.
“Di Indonesia, peningkatan secara signifikan buzzer politik dan produksi disinformasi lewat media sosial telah terbukti menjadi unsur penting kemenangan dalam pemilu dan menjaga kebijakan presiden terpilih nantinya,” catat Muninggar.
Dengan tidak adanya petahana yang ikut kontestasi di pilpres 2024, sebenarnya calon-calon presiden macam Prabowo, Ganjar, dan Anies punya persaingan ketat dan relatif seimbang. Namun dengan masalah isu agama yang terus saja disuarakan, tidak heran jika nanti Pilpres 2024 tak jauh dari debat masalah sektarian alih-alih perdebatan soal kebijakan, atau berbicara perkara ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih penting. Sama seperti sebelumnya, perhelatan pilpres 2024 diprediksi akan jalan di tempat saja.
Baca Juga:PDI Perjuangan Panggil Ganjar Pranowo Sore IniRevolusi Baru Anies Baswedan
Kembali pada pernyataan Mead “sebuah kelompok kecil yang bijaksana […] bisa mengubah dunia.
Namun bagaimana jika kelompok itu tidaklah bijak? Masihkah perubahan itu patut kita nantikan? (*)
Bondhan W
Indonesian Political Watch