Salah satu alasannya adalah karena orang yang terpelajar akan menyadari bahwa suatu perubahan –secara rasional – membutuhkan kerja dan waktu yang lama untuk bisa terwujud, atau dengan sederhananya, orang yang terpelajar lebih rentan meragukan kapabilitas dirinya sendiri dibanding orang yang tidak tahu banyak hal tentang sesuatu.
Lebih lanjutnya, Kahnemann juga menyoroti kesalahan bernalar yang disebut anchoring bias atau bias penahan. Sederhananya, bias ini menjelaskan pola pikir manusia dalam memahami sesuatu berdasarkan hal pertama yang mereka pelajari tentang hal tersebut.
Salah satu contoh anchoring bias adalah ketika ada seseorang yang membela orang lain yang dituduh melakukan kejahatan hanya karena ia mengenalnya sebagai orang yang baik. Padahal, sifat baiknya itu belum tentu menjamin ia adalah orang yang tidak mungkin melakukan sebuah kejahatan.
Baca Juga:Ganjar Pranowo Siap Capres 2024, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto: Pak Ganjar akan Kami Lakukan Klarifikasi Terkait PernyataannyaStrategi Intelijen Politik Megawati Soekarnoputri Tiru Operasi Khusus Ali Moertopo?
Nah, hal ini menurut Kahnemann seringkali terjadi juga dalam proses edukasi. Sebagai konteks, dalam memahami politik umumnya hal yang pertama diajarkan pada kita adalah politik merupakan alat seseorang untuk mengejar atau mempertahankan kekuasaan, dengan demikian politik digunakan hanya sebagai penyalur hasrat rakus manusia.
Padahal, pemahaman tentang sifat manusia dalam menggunakan politik hanya dijadikan sebagai dasar logika, bahwa fungsionalitas politik akan berjalan berdasarkan jalan pemikiran seorang manusia. Namun, hal itu tidak berarti politik itu sendiri murni hanya digunakan untuk kelicikan dan kebengisan manusia.
Berangkat dari penjelasan di atas, pertanyaan selanjutnya yang bisa kita tanyakan adalah, apakah ini artinya pendidikan tentang politik justru membunuh demokrasi, karena semakin banyak orang terpelajar yang takut masuk politik?
Politik Juga Perlu Pragmatis?
Sebagai sedikit selingan, ahli strategi militer ternama, Carl von Clausewitz dalam bukunya On War, menjelaskan bahwa ada perbedaan cukup kentara antara seorang ahli teori militer dengan seorang strategi perang di lapangan.
Kata Clausewitz, seseorang yang meluangkan banyak waktu membaca tentang perang mungkin akan punya teori-teori di atas kertas yang bisa memenangkan peperangan, tapi ketika orang tersebut diterjunkan menjadi komandan di lapangan, bukan tidak mungkin ia justru akan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini karena teori yang dipelajari seringkali tidak bisa memberikan konteks lengkap hanya dengan membacanya dari sebuah buku.