Politisi, bagaikan selebritis yang mana gerak-geriknya pasti mendapat komentar dari khalayak. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba menampilkan citra terbaiknya saat melakukan interaksi politik.
John Street dalam jurnal berjudul Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation menjelaskan dua pengertian politisi selebritis dalam terminologi di dunia politik.
Pertama, yakni merujuk pada politisi tradisional yang mengadopsi budaya populer untuk meraih perhatian publik demi tujuan politik. Kedua, mengacu pada pekerja dunia hiburan yang terjun ke dunia politik dan mengklaim hak untuk mewakili rakyat.
Baca Juga:Mampukah Gerakan Pendukung ‘Radikal’ Ganjar Pranowo Tembus Pilpres 2024?Heru Subagia Pendukung ‘Radikal’ Ganjar Pranowo: PDI Perjuangan Jika Ingin Menang Harus Dukung Mas Ganjar
Bagi mereka yang menapaki karier sebagai politisi, makna politisi selebritis pertama dari Street kiranya memang kerap dipraktikkan.
Tak hanya mengadopsi budaya populer, sikap mereka dalam mengaktualisasikannya di hadapan publik juga menjadi penting. Tak lain demi popularitas yang positif dan dapat menarik simpati.
Menurut Matthew Wood, Jack Corbett, dan Matthew Flinders dalam Just like us: Everyday celebrity politicians and the pursuit of popularity in an age of anti-politics, fenomena politisi selebritis berangkat dari menguatnya sentimen anti-politisi yang berkembang.
Selama ini, para politisi kawakan dianggap tidak terhubung dengan masyarakatnya dan cenderung bersifat elitis.
Pesatnya perkembangan media sosial juga “memaksa” para politisi berlomba-lomba eksis di setiap platform dengan citra kekinian dan terbaik yang bisa mereka tampilkan. Tak hanya sekadar eksis, mereka pun wajib memiliki kemampuan komunikasi politik di depan layar yang mumpuni.
Di Indonesia, hampir semua politisi, terutama yang digadang pantas bersaing di Pilpres 2024, tampak memaksimalkan predikat politisi selebritis. Mulai dari Ridwan Kamil, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), hingga Ganjar Pranowo memiliki karakteristik dan citranya sendiri sebagai seorang politisi selebritis.
Sayangnya, Puan sebagai sosok simbolis yang diharapkan bagi soliditas PDIP seolah kurang memaksimalkan fenomena politisi selebritis itu.
Baca Juga:Drama Leslar: Kisah KDRT Berujung Cinta Bersemi KembaliKomnas HAM: Gas Air Mata Penyebab Utama Tragedi Kanjuruhan Berujung Tewasnya 134 Orang
Bahkan, apa yang diperagakan Puan justru kontraproduktif terhadap citranya sendiri dalam beberapa kesempatan. Baik bagi citranya dalam berinteraksi langsung dengan publik, maupun citranya dalam konteks yang lebih substansial seperti kepemimpinan.
Sebut saja saat dirinya sebagai pimpinan DPR mematikan microphone anggotanya yang memberikan interupsi dalam sebuah rapat. Sebagai pimpinan dan tentu dirinya menyadari bahwa sorotan kamera pasti tertuju pada tingkah lakunya, itu tentu mengherankan untuk dilakukan.