YANTO Irianto berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum (FH) (UNISSULA) dengan IPK 3,90. Ia berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan dewan penguji pada Ujian Terbuka di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), pada Sabtu (10/92022).
Yanto Irianto mengangkat disertasi dengan judul Rekonstruksi Regulasi Penyitaan Aset Milik Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Berbasis Keadilan. Penelitian disertasi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan penyitaan aset milik tersangka oleh KPK apakah telag memenuhi nilai-nilai keadilan, 2) mengetahui dan menganalisis kelemahan-kelemahan regulasi penyitaan aset milik tersangka korupsi oleh KPK, 3) merekonstruksi regulasi tentang penyitaan aset milik tersangka oleh KPK yang berbasis nilai keadilan.
Hasil penelitian ini menunjukkan dalam praktik hukum seringkali terjadi polemik penyitaan aset yang tidak terkait kasus korupsi, jika penyidik menggunakan instrumen UU Tindak Pidana Pencucian Uang, maka aset yang disita haruslah harta kekayaan yang berasal dari kejahatan korupsi.
Baca Juga:Richard Eliezer Dibekali 1 Kotak Peluru 9 mm dari Ferdy Sambo untuk Eksekusi Brigadir JTemuan Baru di Sidang Perdana Ferdy Sambo: dari Bagikan Uang Rp 2 Miliar dan iPhone 13 Pro Max ke Ajudan hingga Libatkan Tim CCTV Kasus KM 50
Masih dikutip dalam disertasinya, disebutkan kewenangan KPK yang begitu luas menimbulkan perbedaan antara kewenangan penegak hukum yang diatur dalam KUHAP dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Praktiknya ada beberapa permasalahan terkait kewenangan KPK yang diatur dalam UU tersebut. Khususnya dalam masalah penyitaan,” ungkap Yanto Irianto yang menggawangi Lembaga Bantuan Hukum Pancaran Hati di kantornya, Selasa (18/10).
Menurutnya, ada permasalahan yang mendasar terhadap batas-batas kewenangan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan. Batas-batas itu diperlukan agar tidak terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang sehingga berakibat hak-hak tersangka tidak terlindungi.
“Batasan tersebut salah satunya adalah kewajiban penyidik untuk melakukan penyitaan yang harus disertai surat izin ketua pengadilan negeri, dan ini termaktub di Vide Pasal 38 KUHAP,” jelasnya.
Lebih lanjut, surat izin tersebut agar ketua pengadilan negeri dapat mengawasi tindakan penyitaan oleh penyidik dan agar terwujudnya kerja sama yang serasi antara penegak hukum yang ada didasari pada prinsip saling koordinasi yang terdapat dalam KUHAP.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, imbuhnya, apa yang terjadi dalam praktik jika ketentuan tidak mensyaratkan surat izin tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dimana tidak adanya syarat tersebut, maka ketentuan khusus yang mengatur kewenangan penyitaan terhadap penyidik KPK berpotensi terjadinya tindakan penyitaan yang sewenang-wenang sehingga melanggar hak tersangka.