TANGGAL 30 September 1965 dengan meletusnya peristiwa G30S dikenal sebagai babak kelam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Operasi Gerakan 30 September atau G30S yang diinisiasi Resimen Tjakrabirawa dan melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI kala itu, berakhir dengan pembunuhan terhadap 6 jenderal dan seorang letnan satu TNI Angkatan Darat.
Maka untuk mengetahui peristiwa tersebut, dulu saat Orde Baru di setiap tanggal 30 September ada aturan wajib untuk memutar film Pengkhianatan G30S/PKI. Ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia memahami apa yang terjadi pada saat itu. Namun, kini banyak buku dalam beragam versi yang diterbitkan terkait peristiwa G30S itu.
Buku yang Membedah Peristiwa G30S
Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto
Baca Juga:Peristiwa Kelam Pembunuhan 6 Jenderal 1 Letnan Satu: G30S, Gestapu, Gestok, dan G30S/PKIIDI Protes DPR Tak Libatkan Proses Penyusunan RUU Kesehatan
Buku ini merupakan karya sejarawan Salim Said, yang menghimpun dari sekitar 26 artikel. Tiap artikel memuat peran yang dilakukan oleh para tokoh dalam peristiwa Gestapu, baik yang terlibat langsung maupun tak langsung. Buku ini terdiri dari 212 halaman dan terbit pada 2018.
Mengutip sejarah-tni.mil.id, peristiwa Gestapu dipimpin oleh seorang non-militer, yaitu Syam Kamaruzaman yang merupakan warga sipil. Diketahui, padahal saat itu PKI memiliki perwira berpikiran maju seperti Brigjen TNI Suparjo, Kolonel Inf Abdul Latip dan Letkol Untung yang merupakan tokoh militer. Sebab hal ini muncul perspektif bahwa Gestapu memang dirancang untuk gagal.
Dibalik peristiwa Gestapu, Presiden Sukarno tokoh yang berperan penting. Diketahui bahwa Jenderal Ahmad Yani pengikut setia Sukarno. Namun karena Jendral Ahmad Yani menolak Nasakom yang merupakan ajaran Sukarno, maka Bung Karno tak lagi menyukai Jenderal Yani.
Buktinya Presiden Sukarno ingin menyingkirkan Jendral Yani dengan cara didaulat, lalu Mayjen Reksosamudro menggantikan posisinya. Namun yang terjadi justru Jenderal Yani dan beberapa perwira TNI diculik dan dibantai.
Padahal rencana penculikan itu diketahui Mayjen Soeharto selaku Panglima Kostrad. Ini diketahuinya berdasarkan atas laporan dari Kolonel Latif pada 30 September 1965 yang mengatakan akan ada rencana penculikan. Namun Soeharto memahami kata penculikan sebagai arti dari didaulat. Karena bukan ranah kekuasaanya, ia pun bersikap acuh tak acuh.