SETELAH penumpasan peristiwa 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencoba bangkit kembali pada 1967 melalui sebuah proyek di Blitar, Jawa Timur. Namun, upaya mereka untuk menghimpun kembali kekuatan tidak berlangsung lama dan terungkap, di antaranya karena bungkus rokok.
Pada akhir 1967, Oloan Hutapea, Surachman, Rewang dan sejumlah pimpinan lapis kedua PKI lainnya, diam-diam hijrah ke Blitar Selatan, yang merupakan basis dukungan partai itu pada Pemilu 1955. Mereka mencoba membangun kekuatan dan mengubah taktik perlawanan menjadi perjuangan bersenjata (Perjuta).
Dalam bukunya “G30S Dan Kejahatan Negara” Siauw Giok Tjhan menulis bahwa pada mulanya kedatangan para tokoh PKI di Blitar Selatan mendapat sambutan hangat penduduk. Namun, sambutan hangat itu membuat para tokoh PKI lupa diri dan merasa seperti raja yang dilayani, sehingga menimbulkan antipati dari warga.
Baca Juga:Vladimir Putin Beri Kewarganegaraan Rusia ke Mantan Kontraktor Intelijen Badan Keamanan Nasional AS Edward SnowdenPolda Jateng Periksa 7 Saksi Terkait Peristiwa Ledakan Paket Petasan di Asrama Polri Sukoharjo
Selain itu, para tokoh PKI yang telah terbiasa hidup borjuis di kota masih ingin memperoleh makanan dan rokok bermerek meski mereka saat itu hidup di desa-desa di Blitar. Melalui kurir-kurir, mereka membeli barang-barang keperluan dari kota seperti rokok Gudang Garam, Bentoel, Djie Sam Soe dan kacang Lip Lip Hiong.
Tanpa mereka sadari, sampah-sampah bungkusan makanan dan rokok dari kota itu menarik perhatian para petugas keamanan negara, yang mengetahui bahwa barang-barang itu tidak mungkin milik warga desa. Ini mempermudah aparat mengetahui persembunyian para tokoh PKI, sehingga pada 1968, semua tokoh PKI yang terlibat dalam gerakan di Blitar Selatan telah terbunuh, ditangkap dan dibui. (*)