Sidik yang masih berjibaku melawan Ploegman bisa menyingkirkan pistol lawannya itu. Dalam suatu kesempatan, ia berhasil mencekik leher Ploegman yang akhirnya tewas karena kehabisan nafas.
Malangnya, Sidik tidak sempat melarikan diri karena orang-orang Belanda lainnya keburu berdatangan ke lobi. Mereka segera mengeroyok Sidik. Arek Suroboyo pemberani itu pun masih melawan dengan mengambil sepeda yang ada di situ sebagai senjata untuk membela diri.
Situasi yang tak seimbang itu tentunya tidak menguntungkan bagi Sidik yang kian terdesak. Dengan menggunakan bangkai sepeda sebagai tameng terakhirnya, ia tidak mampu mengelak ketika seorang prajurit Belanda melemparkan belati. Sidik pun ambruk dengan pisau tertancap di badannya.
Baca Juga:Hari Ini, Sidang Komisi Kode Etik Polri Banding Ferdy SamboKecelakaan Beruntun KM253 Tol Pejagan-Pemalang Diduga Asap Kebakaran Lahan, Polisi Dalami Penyebab Lahan Terbakar
Sementara itu, situasi di luar hotel semakin riuh. Massa yang datang semakin bergelombang hingga ratusan orang. Melihat Residen Soedirman dan Hariyono berlari ke luar yang mengindikasikan bahwa perundingan tidak menemui kata sepakat, maka beberapa orang pemuda memutuskan naik ke atap hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Setelah lembaran kain triwarna dicopot dari tiangnya, para pemuda Surabaya itu justru kebingungan karena lupa membawa bendera Indonesia sebagai penggantinya. Akhirnya, seorang pemuda merobek bagian bawah bendera Belanda yang berwarna biru sehingga kain itu tinggal menyisakan warna merah dan putih.
Kain inilah yang kemudian dinaikkan kembali di tiang yang sama. Meskipun compang-camping karena bekas sobekan, sang Merah-Putih akhirnya bisa berkibar di puncak Hotel Yamato. Pekik “merdeka” dari massa-pemuda yang mencermati dari bawah terdengar berulangkali mengiringi naiknya bendera berwarna merah dan putih hasil sobekan bendera Belanda.
Peristiwa penyobekan bendera ini tak pelak membuat kubu Belanda marah. Mereka tidak diterima bendera kehormatan dinistakan kendati sebelumnya mereka juga telah menghina dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Gejala perang mulai terasa di Surabaya.
Rangkaian polemik pun terjadi sejak awal Oktober 1945 meskipun masih dalam skala yang belum terlalu besar. Bermula dari ulah Belanda yang dibalas dengan penyobekan bendera oleh kaum muda Surabaya, konflik bersenjata mencapai puncaknya pada 10 November 1945.
Insiden yang dikenal dengan nama Pertempuran 10 November dan dikenang sebagai Hari Pahlawan ini menewaskan puluhan ribu orang dari kedua belah pihak. Peristiwa ini juga menjadi salah satu pertempuran terbesar di zaman Revolusi. (*)