Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan Djaelani di pengadilan mengamini bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar terjadi.
Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu. Ketika 3 perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan tembakan yang memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini, termasuk Amir Biki (Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, 2001: 56).
Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, 2005: 123).
Baca Juga:Korban Tewas Akibat Kecelakaan Beruntun di Turunan Pasar Kertek Wonosobo Bertambah Jadi 7 OrangPolisi Ungkap Hasil Penyelidikan, Diduga PNS Bapenda Semarang Dibunuh Sebelum Dibakar
Namun, pernyataan Panglima ABRI tersebut sangat berbeda dengan data dari Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung oleh kesaksian Djaelani. Lembaga ini menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang (Suara Hidayatullah, Volume 11, 1998: 67).
Presiden Republik Indonesia yang berkuasa kala itu, Soeharto, tampaknya tidak pernah menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984 itu. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, sang penguasa berucap:
“Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.” (*)