Massa Islam vs Aparat Negara
Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu (Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, 2004:19).
Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon datang, undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya. Forum umat Islam itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam.
Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia didesak untuk menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar dan berseru:
Baca Juga:Korban Tewas Akibat Kecelakaan Beruntun di Turunan Pasar Kertek Wonosobo Bertambah Jadi 7 OrangPolisi Ungkap Hasil Penyelidikan, Diduga PNS Bapenda Semarang Dibunuh Sebelum Dibakar
“Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!”
“Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita,” lanjut Amir Biki mengingatkan para jemaah, seperti dituturkan Abdul Qadir Djaelani dalam persidangan.
Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.
Kontroversi Jumlah Korban
Massa yang menuju Polres ternyata sudah dihadang pasukan militer dengan persenjataan lengkap. Bahkan, tidak hanya senjata saja yang disiapkan, juga alat-alat berat termasuk panser (Kontras, 2004: 20). Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan dari senapan otomatis.
Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru. Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta. Bahkan, seorang saksi mata mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” (Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?, 1998: 32).