Pemantik Bentrok di Tanjung Priok
Dalam eksepsi pembelaannya, Djaelani menceritakan awal mula perselisihan warga kontra aparat itu. Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Djaelani menyebut kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram pamflet tersebut. Dalam persidangan, hal ini diakui oleh Hermanu, salah seorang anggota Babinsa pelakunya yang dihadirkan sebagai saksi, dengan dalih:
”… pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan.” (Irfan S. Awwas, ed., Bencana Umat Islam di Indonesia Tahun 1980-2000, 2000:30).
Baca Juga:Korban Tewas Akibat Kecelakaan Beruntun di Turunan Pasar Kertek Wonosobo Bertambah Jadi 7 OrangPolisi Ungkap Hasil Penyelidikan, Diduga PNS Bapenda Semarang Dibunuh Sebelum Dibakar
Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak pernah ada upaya nyata dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.
Dua hari kemudian, masih dari penuturan Djaelani, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai berdatangan ke masjid.
Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga sudah didatangkan segera bertindak mengamankan orang-orang yang diduga menjadi provokator. Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut tak pelak membuat massa semakin kesal terhadap aparat.
Namun, kata Djaelani, masyarakat masih mencari cara agar persoalan ini tidak harus melibatkan massa dalam jumlah besar. Keesokan harinya, tanggal 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. Amir Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil.