TANGGAL 12 September 1984, tepat hari ini 38 tahun silam, adalah titi mangsa yang begitu kelabu bagi umat Islam. Di Tanjung Priok, Jakarta Utara, darah tumpah. Dari percik pemantik beberapa hari sebelumnya, polemik berpuncak pada tetesan darah pada 12 September 1984. Pecahlah kerusuhan yang melibatkan massa Islam dengan aparat pemerintah Orde Baru (Orba). Korban tewas nyaris seluruhnya meregang nyawa lantaran diterjang timah panas dari senapan tentara.
Pertumpahan darah sesama anak bangsa itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an. Semua organisasi di bumi Nusantara wajib berasaskan Pancasila, tidak boleh yang lain. Artinya, siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015: 161).
Mereka yang Dituding Subversif
Di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar dari langgar kecil di pesisir utara ibukota. Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional. Dari situlah kejadian berdarah itu bermula. Dalam eksepsi pembelaannya di pengadilan, Abdul Qadir Djaelani menyampaikan kesaksian yang barangkali berbeda dengan versi “resmi” pemerintah Orde Baru.
Baca Juga:Korban Tewas Akibat Kecelakaan Beruntun di Turunan Pasar Kertek Wonosobo Bertambah Jadi 7 OrangPolisi Ungkap Hasil Penyelidikan, Diduga PNS Bapenda Semarang Dibunuh Sebelum Dibakar
Selepas subuh usai peristiwa Tanjung Priok, Djaelani dijemput aparat untuk dihadapkan ke meja hijau. Akhir 1985, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu. Djaelani dihukum penjara 18 tahun dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah, dan tulisan-tulisannya (Tempo, Volume 23, 1993:14).
Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual” bentrokan tersebut.
Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan itu. Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan kepada Djaelani.
Djaelani sempat menyampaikan eksepsi pembelaannya di pengadilan, termasuk kronologi yang mengiringi insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 itu. Kesaksian Djaelani ini lalu diterbitkan dalam buku yang judulnya sama dengan judul eksepsi pembelaannya di pengadilan (A.Q. Djaelani, Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia: Sebuah Pembelaan, 1985).