Di balik kepraktisan program-program trusted traveller (pelancong tepercaya) ini, ada harga mahal yang harus dibayar. Layanan TSA PreCheck perlu disokong data pribadi selengkap-lengkapnya dengan dokumen dan wawancara singkat. Data sensitif yang diminta meliputi sidik jari, tinggi-berat badan, warna mata dan rambut, riwayat pelanggaran hukum, kesehatan mental, sampai pekerjaan.
Untuk itu semua TSA tidak bekerja sendirian. Associated Press melaporkan mereka turut menggandeng swasta, misalnya perusahaan teknologi keamanan berbasis di Prancis, Idemia. Sampai akhir tahun ini mereka juga berencana menambah kerja sama dengan dua perusahaan lain, salah satunya Clear Secure Inc. yang bermarkas di New York. Clear dikabarkan ingin menggabungkan keanggotaan TSA PreCheck dengan produk mereka yang lain, yakni layanan verifikasi identitas untuk industri hiburan (stadion olahraga dan konser).
Advokat perlindungan hak-hak digital mewaspadai perluasan layanan verifikasi identitas untuk berbagai kepentingan industri ini. Menurut mereka hal ini berisiko menggerus privasi dan keamanan data warga.
Baca Juga:Serangan Teror Terburuk Paling Berani dalam Sejarah Amerika, 9/11Pengakuan Bjorka: Punya Teman Sejati asal Indonesia Tinggal di Warsawa, Sudah Meninggal Dunia dan Merawatnya Sejak Lahir
Pejabat TSA David Pekoske mengatakan mereka memang mengizinkan vendor untuk menawarkan layanan bundle dengan harapan itu bisa jadi semacam “insentif” agar semakin banyak orang mau ikut program pelancong tepercaya. Dengan semakin banyak orang mendaftar TSA PreCheck, TSA berharap beban kerja mereka berkurang. Dengan demikian, mereka bisa mengerahkan sumber daya lebih besar untuk mengecek penumpang yang lebih berpotensi menimbulkan risiko.
Saat ini sudah ada 10 juta anggota TSA PreCheck. Jumlahnya diharapkan meningkat sampai 25 juta orang dalam waktu dekat.
Kritik terhadap TSA bukan hanya soal privasi. Tahun 2015 silam, muncul laporan bahwa dalam 95 persen kesempatan petugas TSA gagal mendeteksi senjata atau bahan peledak pada tubuh inspektur yang menyamar. Terlepas dari itu, sampai hari ini belum ditemui insiden yang menimbulkan kehancuran berskala besar seperti serangan 9/11. Antara TSA yang memang terbukti berhasil atau memang ancamannya sudah semakin mendekati nol.
Kinerja TSA juga disindir tak lebih sebagai “teater keamanan”—seakan-akan memberikan rasa aman padahal tidak. Tapi toh dalam dua dekade ini masyarakat sudah beradaptasi dengan protokol keamanan TSA yang ketat dan ribet, menurut eks-direktur National Counterterrorism Center Nicholas Rasmussen kepada Washington Post.