Laptop dan perangkat elektronik juga dikhawatirkan berpotensi dijadikan medium peledak. Oleh karena itu, sejak 2017, TSA mengatur penumpang untuk meletakkan laptop atau gawai (yang ukurannya lebih besar dari telepon genggam) di kontainer. Tujuannya agar memudahkan pemindaian dengan sinar-x sekaligus memungkinkan petugas mengecek barang dengan lebih teliti.
Teknologi yang Menggerus Privasi
Perubahan masif pada protokol keamanan penerbangan pada akhirnya berbenturan dengan isu privasi tubuh.
Persis setelah geger bom celana dalam, TSA mulai memasang mesin pemindai tubuh yang teknologinya lebih efektif daripada detektor metal. Menurut perusahaan pembuatnya, American Science and Engineering, citra atau gambar yang dihasilkan mesin ini hanya sebatas garis atau sketsa alih-alih foto telanjang. Tetap saja ada kekhawatiran bahwa mesin ini sudah merenggut privasi atau malah menimbulkan risiko kesehatan karena jenis teknologi yang digunakan.
Baca Juga:Serangan Teror Terburuk Paling Berani dalam Sejarah Amerika, 9/11Pengakuan Bjorka: Punya Teman Sejati asal Indonesia Tinggal di Warsawa, Sudah Meninggal Dunia dan Merawatnya Sejak Lahir
Bagi penumpang yang keberatan tubuhnya dipindai, alternatifnya adalah pemeriksaan fisik dengan diraba-raba oleh petugas. Namun, per 2015, TSA mulai mewajibkan mesin pemindai tubuh pada orang-orang yang dipilih petugas.
Hal lain yang disorot pada mesin pemindai adalah dianggap bias orang kulit hitam berambut tebal dan mereka yang memakai penutup kepala seperti perempuan berhijab atau laki-laki pemeluk agama Sikh. Mesin ini kesulitan mengidentifikasi rambut tebal yang kebanyakan dimiliki oleh orang kulit hitam. Otomatis, mesin menduga ada barang berbahaya di dalam rambut. Hal ini kerap membuat orang-orang kulit hitam kurang nyaman karena petugas akan mengacak-acak rambut mereka untuk memastikan tidak ada barang tersembunyi.
Selain privasi, perkara lain yang juga disorot adalah soal data pribadi penumpang. Ini terkait penggunaan teknologi berbasis aplikasi dan data yang digunakan sejak Desember 2013. Layanan berbayar ini disebut TSA PreCheck dan ditujukan bagi penumpang yang ingin mempersingkat durasi pemeriksaan pra-keberangkatan. Dinas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (US Customs and Border Protection) juga punya program serupa, Global Entry.
Hanya dalam 6 bulan setelah TSA PreCheck dirilis, sudah ada 420 ribu orang yang mendaftar—totalnya mencapai 750 ribu sampai akhir 2014.
Dengan membayar 85 dolar AS untuk TSA Precheck (atau 100 dolar untuk Global Entry), seseorang bisa dapat layanan istimewa di pos keamanan bandara selama lima tahun. Sebagai anggota TSA PreCheck, calon penumpang tidak perlu melepas sepatu, menunjukkan laptop dan cairan dalam botol, atau melepas jaket atau sabuk. Namun tetap ada kemungkinan mereka dipilih secara acak oleh petugas dan diminta menjalani prosedur pengecekan dengan mesin pemindai tubuh, detektor metal, atau pemeriksaan fisik.