Khan dan Ahmed hanyalah segelintir dari sekian banyak orang yang pernah jadi korban praktik “profil ras” oleh petugas keamanan bandara. Disebut demikian karena biasanya dialami mereka yang wajahnya terlihat seperti penduduk Asia Selatan atau Timur Tengah dengan nama berbahasa Arab.
Transformasi Sistem Keamanan Bandara AS
Pengawasan ketat mulai diterapkan kepada calon penumpang di dalam negeri maupun para pendatang seperti Khan dan Ahmed setelah Al-Qaeda membajak pesawat di New York, Pennsylvania, dan Virginia pada 9 September 2001 dan menabrakkan dua di antaranya ke Menara Kembar. Serangan ini dapat terjadi karena sistem bandara gagal menghalau 19 pengikut Al-Qaeda. Mereka membajak empat pesawat komersial milik maskapai United Airlines dan American Airlines.
Serangan ini menelan nyaris 3 ribu korban jiwa dan diestimasi The New York Times menimbulkan kerugian finansial di pihak pemerintah AS sampai 3,3 triliun dolar AS, termasuk anggaran perang dan berbagai misi kontra-terorisme.
Baca Juga:Serangan Teror Terburuk Paling Berani dalam Sejarah Amerika, 9/11Pengakuan Bjorka: Punya Teman Sejati asal Indonesia Tinggal di Warsawa, Sudah Meninggal Dunia dan Merawatnya Sejak Lahir
Keamanan bandara AS awalnya dikelola oleh swasta yang bisa dibilang cukup longgar. Satu contoh sederhana, keluarga atau pengantar diperbolehkan melewati pos-pos keamanan sampai gerbang menuju pesawat. Menurut situs Bandara Internasional Philadelphia, di masa itu staf keamanan hanya perlu memindai tas tenteng calon penumpang alih-alih meminta mereka membongkar isinya.
Untuk bisa lolos dari pos keamanan, seseorang juga tidak perlu melepas sepatu, sabuk, atau jaket seperti sekarang jamak dilakukan di mana-mana. Botol-botol cairan atau aerosol juga boleh dibawa tanpa pembatasan volume. Pengecekan ekstra terhadap seseorang baru dilakukan setelah detektor metal membunyikan sinyal.
Berdasarkan manual yang dirilis asosiasi industri penerbangan pada 1994, penumpang bahkan boleh membawa tongkat bisbol, jarum jahit, gunting, sampai set pisau serbaguna yang panjangnya tak lebih dari 10 cm.
Setelah 9/11, mulai bermunculan kritik tentang rendahnya kualitas dan kinerja petugas swasta bandara. Dikutip dari The New York Times edisi Oktober 2001, Ketua Business Travel Coalition, Kevin Mitchell, menganggap sistem keamanan pra-9/11 memang “rusak dan bereputasi buruk.”
Bagi Mitchell, keamanan yang konsisten dan terintegrasi seharusnya disediakan pemerintah alih-alih swasta yang mempekerjakan pegawai berupah rendah. Toh, berdasarkan survei organisasinya, 79 persen dari 232 pembeli korporat bersedia membayar tiket 3-5 dolar lebih mahal asalkan standar keamanan lebih bagus di bawah manajemen pemerintah pusat.