“TIAP kali mulai merasa sombong tentang diri sendiri, saya selalu pergi ke Amerika. Petugas imigrasinya membuat seorang bintang jadi warga biasa,” kelakar salah satu orang India paling terkenal sejagat dan sepanjang masa, Shah Rukh Khan, di depan para mahasiswa Universitas Yale pada 2012 silam. Pangkal persoalannya adalah ia kerap “ditahan” otoritas bandara, termasuk selama 90 menit sebelum dapat berceramah di kampus tersebut.
Khan pernah mengalami kejadian serupa di New Jersey pada 2009. Alasannya, entah mengapa namanya masuk dalam daftar terduga teroris. Ironisnya, waktu itu Khan berangkat untuk mempromosikan My Name is Khan, film tentang imigran muslim di AS yang mengalami diskriminasi rasial pasca-serangan 9/11.
Pada 2016, Khan kembali ditahan oleh otoritas bandara di Los Angeles. Kala itu beritanya cukup heboh, sampai-sampai Duta Besar AS untuk India meminta maaf pada Khan via Twitter.
Baca Juga:Serangan Teror Terburuk Paling Berani dalam Sejarah Amerika, 9/11Pengakuan Bjorka: Punya Teman Sejati asal Indonesia Tinggal di Warsawa, Sudah Meninggal Dunia dan Merawatnya Sejak Lahir
Riz Ahmed, aktor Inggris keturunan Pakistan peraih sederet penghargaan (termasuk nominasi Oscar), juga mengoleksi segudang kisah pahit yang terjadi baik di bandara Inggris maupun AS. Ahmed menyebut pengalamannya itu sebagai “audisi bandara” dalam esai berjudul “Typecast as Terrorist”, ditulis untuk buku The Good Immigrant (2016), kompilasi tulisan tentang ras dan imigrasi karya 21 penulis Inggris.
Pada 2006, tatkala baru saja mendarat di London dari Berlin International Film Festival, Ahmed digiring ke dalam ruangan di mana petugas imigrasi “menghina, mengancam, dan kemudian menyerang” dirinya. Meski Ahmed sudah menjelaskan profesi dan urusannya dari luar negeri, petugas tetap intimidatif. “Film macam apa yang Anda buat? Apakah Anda jadi aktor untuk meneruskan perjuangan umat muslim?” cecar petugas sambil memelintir keras lengan Ahmed.
Drama dokumenter yang ikut diperankannya, The Road to Guantánamo, keluar sebagai pemenang dalam festival itu. Film ini menggambarkan ulang kasus penahanan ilegal tiga sekawan asal Inggris di penjara Guantánamo, Kuba. Selama dua tahun, mereka disiksa gara-gara dituding sebagai teroris Al-Qaeda oleh pemerintah AS—tudingan yang kelak terbukti salah.
Pengalamannya hijrah ke Hollywood setali tiga uang. Kesempatan berkarier di sana bahkan nyaris hilang gara-gara pengajuan visa kerja bermasalah. Ahmed rupanya terjaring oleh Section 221 (g), bagian dari UU Imigrasi dan Kewarganegaraan AS tentang prosedur penelusuran latar belakang seseorang berdasarkan pangkalan data teroris dunia.