TWITTER dianggap telah terinfiltrasi oleh agen-agen pemerintahan India. Hal ini disampaikan oleh mantan kepala keamanan Twitter, Peiter Zatko yang mengungkapkan bahwa pemerintah India telah memaksa Twitter untuk merekrut satu dari agen mereka.
Pernyataan ini dituliskan Zatko dalam laporannya terhadap Twitter ke SEC pad bagian laporan yang berjudul, “Penetrasi oleh Intelijen Asing dan Ancaman terhadap Demokrasi”.
“Pemerintahan India telah memaksa Twitter untuk merekrut individual spesifik yang merupakan agen pemerintah, yang (karena cacat dasar arsitektural Twitter) telah membuatnya memiliki akses terhadap data sensitif milik Twitter” Tulis Zatko yang juga seorang peretas legendaris ini, dilansir dari situs The Verge, Senin, 5 September 2022.
Baca Juga:Pakar Psikologi Forensik: Isu Dugaan Pelecehan Seksual Sebagai Siasat, Ironi ViktimisasiIran Tangkap 12 Orang dari Kaum Baha’i Diduga Terlibat Organisasi Mata-mata Israel
Hubungan antara Twitter dan pemerintah India memang kerap diterpa dengan isu yang tidak mengenakkan. Bermula pada penyerangan kantor Twitter di Delhi pada tahun 2021 sebagai repons terhadap penyalahgunaan tag “media yang dimanipulasi” platform. Moderasi Twitter di negara ini adalah masalah pelik, karena rumor palsu sering digunakan untuk memicu kekerasan massa terhadap populasi minoritas Muslim.
Saat ini, Twitter juga tengah bermasalah di India dan menempuh jalur hukum dengan pemerintah India perihal permintaan pemblokiran konten tertentu yang kritis terhadap pemerintahan Narendra Modi.
Lebih dalam, bahkan Zatko dalam laporannya juga menuduh bahwa setengah dari 10 ribu karyawan Twitter memiliki akses terhadap sistem dan data sensitif pengguna.
Menanggapi tuduhan serius Zatko ini, CEO Twitter, Parag Agrawal dalam pernyataan tertulisnya membantah klaim Zatko sebagai narasi palsu tentang Twitter dan privasi dan keamanan data dengan inkosistensi dan keliru.
Selain itu, infiltrasi agen pemerintah asing ini bukan satu-satunya tuduhan yang dilontarkan oleh Zatko. Ia juga menuliskan bahwa Twitter telah menyembunyikan praktik keamanan yang lalai, menyesatkan regulator federal tentang keamanannya, dan gagal memperkirakan dengan tepat jumlah bot di platformnya. (*)