Pada saat itu, Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin seorang raja bernama Liswa atau Limwa dengan abhisekanama (gelar) Gajayana, telah memiliki sistem pemerintahan yang tertata, serta susunan masyarakat yang teratur seperti golongan petani, punggawa, dan bangsawan.
Sementara Rully Dwi dalam “Kajian Historis tentang Candi Badut di Kabupaten Malang” yang terbit di Jurnal Pancaran (Volume 2, 2013: 204-205), memberikan penafsirannya terkait dengan isi dari Prasasti Dinoyo.
Menurut dia, Kerajaan Kanjuruhan awalnya dipimpin oleh raja bernama Dewasimha. Sepeninggal Dewasimha kerajaan tersebut dipimpin oleh anaknya Liswa dengan gelar Gajayana.
Baca Juga:Vladimir Putin Beri Tenggat Waktu 15 September Kuasai Lebih Banyak Donetsk Timur7 Pebisnis Rusia Mati Mendadak Tanpa Penyebab Jelas, Sebelum Produsen Minyak Ravil Maganov
Selanjutnya, sekitar 742 hingga 755 M sepeninggal Dewasimha, Liswa (Gajayana) memindahkan ibu kota Kanjuruhan dari sebelah barat Gunung Kelud ke sebelah timur Gunung Kawi.
Rully mengutip pendapat W. J. Van der Meulen, bahwa pemindahan ibu kota Kanjuruhan berkaitan dengan serangan angin ribut (Sanjaya) yang menampar dari arah barat.
Perpindahan itu juga disebut sebagai strategi terbaik Gajayana, karena letak geografis Kanjuruhan yang berada di wilayah tumapel yang dipagari barisan gunung.
Keruntuhan dari Kanjuruhan sebenarnya bukan disebabkan invasi dari kerajaan lain, melainkan karena munculnya sebuah kerajaan baru yang dipimpin oleh keturunan Raja Mataram Kuno, yakni Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa.
Balitung (898-910) saat itu memilih memusatkan kerajaan di Kediri daripada di Malang. Sejak saat itulah Kerajaan Kanjuruhan hanya sebuah kerajaan bawahan yang tidak terlalu penting.
Sementara pendapat lainnya menyatakan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan telah ditaklukkan oleh Mataram dan rajanya dianggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakai Kanuruhan (Sumadio, 2008: 127).
Nama Kanuruhan pertama kali disebutkan dalam Prasasti Wurandungan B. Prasasti berangka tahun 865 Saka tersebut menyebutkan sebuah daerah bernama Watek Kanuruhan. Pada masa Jawa Kuno, watek atau watak merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa wanua (desa) dan dipimpin oleh seorang rakai atau rakarayān (rakryan). (*)