RUSIA blak-blakan mendukung junta militer Myanmar, termasuk mendukung rencana junta menggelar pemilihan legislatif tahun depan, Rabu (3/8).
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengungkapkan alasan negaranya mendukung penuh junta militer Myanmar. Rusia menilai upaya junta militer untuk memastikan stabilitas Myanmar.
“Kami mendukung upaya [junta] untuk menstabilkan situasi di negara itu,” ujar Lavrov kala bertemu dengan pemimpin junta, Min Aung Hlaing, di Naypyidaw, kepada media Rusia TASS, dikutip dari AFP.
Baca Juga:27 Pesawat Tempur China Terbang ke Zona Pertahanan Udara TaiwanBharada E Bukanlah Aktor Tunggal, Polri Serius Ungkap Tuntas Tewasnya Brigadir J
“Tahun depan, Anda bakal melangsungkan pemilihan legislatif dan kami mendoakan kesuksesan Anda,” kata Lavrov, merujuk pada proposal pemilihan pada 2023, yang dinilai pemberontak tak bakal berlangsung dengan bebas dan adil.
Min sendiri sempat mengatakan pemilihan hanya bisa dilakukan saat Myanmar “stabil dan damai.”
Selain itu, Lavrov dan Min membicarakan pembukaan kantor konsulat baru untuk mempromosikan peningkatan perjalanan antara kedua negara.
Lavrov juga menuturkan perusahaan luar angkasa Rusia, Roscosmos, bakal membangun “infrastruktur baru” di Myanmar dan bekerja sama dengan junta.
Sementara itu, junta belum memberikan komentar atas kunjungan Lavrov.
Sebagaimana diberitakan AFP, Myanmar berada di dalam kekacauan sejak junta menggulingkan pemerintahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi pada tahun lalu.
Sejak itu, kubu pembela Suu Kyi kerap terlibat bentrok dengan junta. Sejauh ini, lebih dari 2.100 tewas dalam tindakan keras militer Myanmar.
Junta Myanmar sendiri dituduh melakukan kejahatan perang dalam menangkal pemberontakan tersebut.
Baca Juga:Waspada Mulai Pagi Hari, Potensi Gelombang Tinggi di Laut Selatan Jawa Barat antara 4 hingga 6 MeterTimsus yang Menyelidiki Kasus Brigadir J Punya Inspektorat Khusus, Polri: Tugasnya Memeriksa Siapa Saja yang Menyangkut Peristiwa TKP Duren Tiga
Sementara itu, Rusia dan China dituduh memberikan alutsista ke militer Myanmar untuk menyerang warga sipil yang memberontak.
Di sisi lain, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) semakin frustrasi dengan perkembangan Myanmar dalam menerapkan lima poin konsensus yang disepakati tahun lalu.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang kini menjadi ketua ASEAN, sempat mewanti-wanti Myanmar terkait penerapan hukum ganti.
Ia menuturkan ASEAN kecewa akan tindakan Myanmar yang menghukum gantung sejumlah aktivis pro-demokrasi pada bulan lalu. (*)