BAGI yang sering atau pernah melintas di Jalur Pantura Jawa baik dari Jakarta ke Semarang ataupun ke Jogja atau sebaiknya, tentu kita tidak asing dengan Brebes.
Daerah yang terletak di ujung barat Jawa Tengah yang berbatasan dengan Cirebon sebagai pintu gerbang Jawa Barat, mungkin akan lebih familiar jika disebutkan telor asin dan atau bawang merah, sebagai komoditas utama Kabupaten Brebes.
Melintasi Kabupaten Brebes, dari arah barat, persis sebelum masuk ke kota Brebes, kita akan menjumpai sebuah sungai yang disebut sungai Pemali. Konon, sungai ini sebagai pagar yang melindungi masyarakat Brebes dari serangan-serangan astral yang bermaksud jahat. Kiriman semacam teluh dan santet akan jatuh ke dalam sungai Pemali.
Baca Juga:KPK Ungkap Negara Dirugikan Rp31,7 Miliar dari Dugaan Korupsi Pembangunan Stadion Mandala Krida DIYSosok Capt Boy Awalia, Pilot Citilink Meninggal Saat akan Menerbangkan Pesawat Rute Surabaya-Makassar
Terdapat sebuah dongeng sasakala yang menceritakan terjadinya nama Sungai Cipamali (pamali ‘pantang’), Sasakala Cipamali dikumpulkan oleh Satjadibrata tahun 1946 dalam sebuah bunga rampai dongeng,
Sang Permana di Kusuma adalah raja Galih Pakuan yang terkenal sangat adil dan bijaksana. Ia belum juga berputra, baik dari istri pertama yang bernama Naganingrum maupun dari istri kedua yang bernama Dewi Pangrenyep.
Pada suatu waktu, Sang Permana pergi bertapa. Kerajaan beserta isinya diserahkan kepada Arya Kebonan. Sebelum pergi, ia memberikan pesan kepada penggantinya agar berbuat adil dan jangan mengganggu kedua istrinya. Arya Kebonan menyanggupi. Selanjutnya, Sang Permana pergi ke Gunung Padang untuk bertapa. la mengganti namanya menjadi Ajar Sukaresi.
Ternyata Arya Kebonan, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Raden Barma Wijaya Kusuma, tidak menepati janjinya. Suatu hari Naganingrum dan Dewi Pangrenyep mendapat firasat akan mendapat putra. Firasat tersebut ternyata tepat, sebab sembilan bulan kemudian Dewi Pangrenyep melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Aria Banga.
Meskipun sudah sepuluh bulan, Naganingrum belum juga melahirkan. Tiba-tiba sang raja mendapat firasat bahwa bayi yang belum lahir tersebut akan menimbulkan malapetaka bagi dirinya. Ia menyuruh Dewi Pangrenyep agar nanti bilamana Naganingrum melahirkan, bayinya harus segera dibuang.
Bayi yang lahir ternyata laki-laki. Kemudian, ía dimasukkan ke dalam kandaga ‘sejenis kotak’ bersama sebutir telur. Dewi Naganingrum selanjutnya diusir dari keraton.