Dalam RKUHP, media massa juga dilarang untuk menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya.
Bila berita tidak sesuai fakta, jurnalis dan media bisa dikenakan Pasal 263 dan Pasal 264.
Hukuman bagi jurnalis dan media juga berjenjang tergantung dari dampak berita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Baca Juga:4 Mantan Petinggi Polri Angkat Bicara Terkait Kasus Tewasnya Brigadir JPresiden Jokowi Terima Delegasi IMF di Istana Kepresidenan Bogor, Apa yang Dibahas?
“Berjenjang juga kalau berita tidak menimbulkan kegaduhan ya hukumannya lebih ringan, kalau menimbulkan kegaduhan ya lebih berat,” tutur Azyumardi.
Pasal lain dalam RKUHP yang menurut Azyumardi harus dihapus adalah soal ancaman pidana untuk menyiarkan kritik terhadap pemerintah.
Ancaman tersebut tertuang dalam Pasal 218 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
“Misalnya juga tidak boleh lagi mengkritik atau memuat kritik kecuali kritik itu disertai dengan solusi,” kata Azyumardi.
Menurut Azyumardi, pasal tersebut juga bisa berlaku untuk kekuasaan secara umum di bawah pemerintahan.
“Jadi kalau pers memuat itu kepada kekuasaan bersifat umum bukan hanya Presiden dan Wapres, tapi juga pemerintah yang ada di bawah itu bahkan sampai ke tingkat paling bawah,” ucap dia.
“Jadi oleh karena itu media yang memuat kritik tanpa ada solusi bisa kena delik,” tutur Azyumardi.
Baca Juga:Kuasa Hukum Ungkap Fakta Adanya Dugaan Penyiksaan Sebelum Kematian Brigadir JKomnas HAM Bakal Panggil Irjen Ferdy Sambo dan Istrinya, Putri Candrawathi
Ia mengaku sempat mempertanyakan pasal itu kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah menyatakan bahwa kritik yang disampaikan tidak harus disertai solusi.
Azyumardi khawatir, pasal tersebut seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa pun dengan maksud untuk melakukan kriminalisasi seperti Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
“Pemerintah ketika saya tanya soal ini dia bilang, ‘Ya, enggak harus begitu,’ tapi pengalaman kita pasal seperti itu pasal karet yang ada di UU ITE,” ujar Azumardi.
Dalam penjelasan Pasal 218 ayat 2 disebutkan definisi kritik adalah penyampaian pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan.
Penjelasan selanjutnya, ayat (2) pasal itu meminta kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.
Kritik juga harus tidak memiliki niat jahat untuk merendahkan atau menyerang martabat atau menyinggung karakter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.