Kasus kedua istri dipaksa melakukan hubungan intim di hutan dengan alasan itu hak suami sesuai dgn agama tertentu. Kasus kedua ini dilakukan oleh Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini.
Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan.
Jadi, kalau kita lihat kejadiannya sangat ekstrim. Tidak bisa kita generalisasikan karena memang pasangan itu tidak lagi bisa hidup bersama lagi sebagai suami istri.
2. Tidak mungkin.
Baca Juga:Ketika Pertemuan Menteri Luar Negeri G-20 di Bali Jadi Kegagalan BesarKembali Menggugat Presidential Threshold
Meskipun Delik ini adalah bukan delik aduan tetapi karakter delik yang sangat privat ini bisa diperkirakan bahwa suami atau istri tidak akan melaporkan kepada pihak berwajib ketika terjadi “perkosaan” di antara keduanya bila mereka masih berkeinginan untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Jadi kemungkinan pidana ini akan berjalan misalnya terkait dengan situasi ekstrim, misalnya sepasang suami istri sudah tidak hidup harmonis, sudah tidak bisa menyatukan diri sebagai suami istri lalu di antara mereka melakukan perkosaan seksual dengan alasan karena mereka masih terikat hubungan suami istri.
Nah, dalam keadaan seperti ini, baik suami atau pun istri yang diperkosa dapat melaporkan kepada pihak berwajib, bukan? Lalu, salahnya di mana Pasal 479 ini?
Jadi untuk dua kemungkinan di atas dapat dipahami bahwa, dalam keadaan normal tidak mungkin Pasal 477 ini mengancam kehidupan rumah tangga suami istri.
Mungkin kita perlu menanyakan apakah rumusan Pasal 477 RUU KUHP di atas merupakan hal yang baru? Kalau kita perhatikan ketentuan hukum yang sudah ada, ternyata ketentuan itu bukan hal yang baru. Definisi serupa juga tertuang saat ini dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal itu sesuai dengan asas KUHP yaitu melakukan kodifikasi hukum.
Perbedaannya bahwa dalam UU PKDRT, tidak menggunakan istilah pemerkosaan, tetapi kekerasan seksual. Pasal 8 huruf a UU PKDRT berbunyi: