Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta Pemilu mengajukan pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden), masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, Saldi juga beranggapan, masyarakat juga akan disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif jika ambang batas itu dihapus.
Yang tidak kalah pentingnya, melihat situasi terakhir terutama pasca Pemilu Presiden 2014, menurut dia, menghapus ambang batas berpotensi bisa lebih banyak calon presiden dibanding Pemilu 2014.
“Dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam Pemilu Presiden 2019,” ucapnya.
Baca Juga:3 Pengunjung Karaoke Ayu Ting Ting Tewas, Ayu Rosmalina Dipolisikan318 Simpatisan Mas Bechi Dipulangkan dari Polres Jombang, 5 Orang Jadi Tersangka
Sedangkan Suhartoyo menilai ambang batas pencalonan presiden merupakan pemaksaan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
“Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan Presidensial Indonesia,” kata dia.
Sebelum menolak gugatan DPD dan PBB, MK sebelumnya juga telah menolak gugatan presidential threshold lainnya.
Setidaknya terdapat empat gugatan yang telah ditolak Mahkamah Konstitusi dalam masalah presidential threshold ini. Pertama gugatan yang diajukan oleh tujuh warga Kota Bandung. Kedua gugatan yang diajukan oleh empat pemohon. Ketiga gugatan yang diajukan lima anggota DPD RI dan terakhir, pada Maret lalu, MK juga menolak gugatan yang diajukan Partai Ummat dan 27 diaspora.
Meskipun demikian, gugatan presidential threshold dipastikan belum akan berakhir. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memastikan mereka juga akan mengajukan gugatan serupa. Hanya saja, PKS meminta agar ambang batas diturunkan menjadi 7-9 persen saja.