Oleh karenanya sering terjadinya kelambatan antisipasi isu dan kebijakan domestik bersentuhan pada level isu internasional.
Perang Rusia dan Ukraina, desakan pemberlakukan energi terbarukan menjadi persolan serius yang terus menekan kebijakan sektor energi nasional. Krisis konflik Balkan menyebabkan harga minyak dunia naik dan menjadikan ancaman dunia mendekati krisis energi.
Tekanan dunia melakukan revolusi energi hijau mengharuskan setiap negara menanggalkan pemakaian sumber sumber energi tidak ramah lingkungan.
Baca Juga:Yonif Raider 300/ Brajawijaya Bebaskan Sandera Di Pelabuhan CirebonIsu Migor Dan Tiket Zulhas Berduet Dengan Ganjar Menuju Kontestasi Pilpres 2024
Dua hal di atas belum atau tidak bisa diantisipasi dengan baik.
Pengelolaan BBM dilakukan oleh negara sebagai Monopoli Tunggal .
Sebagian besar sektor migas dikuasai penuh oleh negara. Sesuai amanat UUD 45 pada 33 jika sumber kekayaan negara dikuasai negara dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebagai penguasa dominan ,negara berhak atas pengendalian distribusi dan pemberlakuan harga . Kondisi luar negeri dalam negeri yang labil menginduksi perubahan harga dan ketersediaan BBM dalam negeri.
Negara tidak sepenuhnya berkuasa menahan gempuran dan intervensi pasar . Wajar jika negara akan melakukan kebijakan mendua dan tidak konsisten karena tekanan mandat UUD 45 dan tekanan internasional disektor energi.
Dampaknya bagi masyarakat adalah kepanikan terhadap isu dan kebijakan dari pemerintah itu sendiri.
Pertamina selaku BUMN yang menangani BBM dijadikan mesin sapi perah politik.
Pos direksi menjadi incaran partai untuk menanamkan pengaruh atau mendudukkan orang sebagai mesin ATM partai. Potensi lalu lintas keuangan triliunan rupiah setiap harinya di Pertamina ,menjadi daya pikat elite partai berebut kursi direksi.
Kebijakan Subsidi Sebagai Politik Pencitraan.
Baca Juga:Presiden RI Bertolak Menuju Kota Nias Gunung Sitoli SumutMengungkap Lembaga Dana Sosial Aksi Cepat Tanggap
Dari rejim ke rejim yang berkuasa di negeri ,kebijakan yang diambil disektor energi lebih banyak mempertimbangkan aspek pencitraan daripada aspek ekonomis dan efesiensi dalam rangka penyesuaian anggaran negara memberikan dampak pembangunan berkelanjutan .
Politik pencitraan rejim berakibat fatal beban manejemen perusahaan dan beban keuangan negara. Pembiaran subsidi BBM terus dipertahankan saat ekinomi baik dan sebaliknya mengurangi atau mencabut subsidi negara sedang panik terjadinya defisit anggaran.
Penulis menyimpulkan jika terdapat motif dan pelaku konflik kepentingan dalam isu Energi dan Subsidi BBM . Daya pikat di sektor energi menjadi magnet berkelahi dan berstrategi . Sektor Energi diartikan sebagai harga mati dalam kekuasaan ekonomi dan kelanggengan rejim dan parpol yang sedang berkuasa.