SIAPA MSA anak kiai Jombang? Seorang anak kiai Jombang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena kasus pencabulan. Hingga kini, pria tersebut masih bebas berkeliaran.
Diketahui, anak kiai Jombang tersebut berinisial MSA. Ia adalah tersangka pencabulan pada santriwati di Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang. Berikut informasi tentang MSA.
Moch Subchi Azal Tsani atau MSA yang menjadi tersangka pencabulan santriwati belum juga ditangkap. MSA alias Mas Bechi sudah enam bulan menjadi DPO dan masih terus dicari polisi.
Baca Juga:Kiai Jombang Halangi Kapolres Tangkap Anaknya DPO Kasus PencabulanRaja-Raja Nusantara dan Dunia Berkumpul di Bali, Begini Misinya
Subchi adalah putra petinggi KH Muhammad Mukhtar Mukthi, Pengasuh Ponpes Shiddiqiyah, Jombang. Ia menjabat sebagai pengasuh ponpes atau Wakil Rektor Ponpes Majma’al Bachroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyah, Desa Losari, Ploso, Jombang.
Ciri-ciri fisik Subchi adalah sebagai berikut:
- Tinggi badan 168 cm
- Bentuk wajah oval
- Rambut berwarna hitam
- Kulit sawo matang
- Memiliki tahi lalat hitam di bawah mata dan pipi sebelah kiri
Tersangka pencabulan, MSA atau Moch Subchi Azal Tzani, dikenal memiliki keahlian dalam ilmu metafakta atau gendam. Kemampuan ini pula yang diduga memudahkan pelaku memperdayai korbannya.Â
Di dunia psikologi, ilmu tersebut ternyata tidak dikenal dan tidak diajarkan. Tetapi hanya diketahui sebagai metode sugesti atau yang oleh masyarakat umum biasa dikenal dengan istilah ilmu gendam untuk memperdayai korban.Â
Psikolog Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang Denok Wigati mengatakan, dengan ilmu tersebut tersangka bisa memperdaya orang lain, seperti memperdaya pengikutnya atau korban agar mau menuruti kemauanya. Lewat ilmu tersebut korban diharuskan menghilangkan daya kognisi atau akal pikirannya agar mau dicabuli.
“Dengan sugesti itu pikirannya di-nol-kan, sehingga mau menuruti semua yang diperintahkan,” katanya, Rabu (6/7/2022).Â
Tindakan sugesti atau gendam seperti ini, menurut Denok sangat memungkinkan dilakukan oleh tersangka dengan memanfaatkan posisinya yang lebih tinggi. Sebab, tersangka merupakan anak kiyai yang harus dipatuhi. Sebaliknya, korban merupakan santriwati yang harus tawadlu’ atau mematuhi perintah kiai.
Pada posisi itu, akal pikiran korban menjadi mudah direndahkan, sehingga bisa diperintah untuk menuruti apa saja yang diinginkan tersangka. “Apalagi kalau pengguna ilmu itu punya otoritas seperti pengasuh atau lainnya, korban akan mudah diperdaya,” tuturnya.Â