“Ada teori yang dikemukakan Robert von Heine-Geldern, kerajaan di Asia Tenggara umumnya disebut dengan nama ibukotanya,” jelas Nina.
Dalam kepercayaan mereka, ibukota kerajaan diyakini sebagai pusat mikrokosmos. Cukup dengan menyebut nama mikrokosmos, berarti sudah menyebut seluruh wilayah kerajaan.
“Itu sebabnya yang beken sekarang itu Pajajaran, padahal yang betul kerajaan Sunda. Itulah kita harus berpegang pada sumber primer,” ujar Prof Nina.
Baca Juga:Prasasti Kebon Kopi II Sebut Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan SundaBatu Bertuliskan Mandarin di Situs Makam Pangeran Pasarean
ToleransiSumber primer diyakini para ahli sebagai bukti otentik yang bisa menjadi referensi suatu sejarah. Hal ini juga bisa menjadi rujukan dari beragam perdebatan yang muncul dari proses interpretasi sejarah.
Kerajaan Sunda sendiri tidak lepas dari adanya perdebatan. Salah satunya mengenai kepercayaan Prabu Siliwangi.
Nina menjelaskan, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis yang didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja.
Dalam prasasti itu, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja, ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521. Jenazahnya kemudian diperabukan.
“Kenapa diperabukan, karena dia beragama Hindu,” ujarnya.
Berbekal informasi dari sumber primer, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu. Meskipun ada bukti sekunder yang menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam.
Menjelang akhir usianya, mulai banyak pendatang yang menetap di Tatar Sunda. Para pendatang tidak hanya beragama Hindu, tetapi ada pula yang beragama Buddha dan Islam.
Prof Nina memaparkan, beragamnya kebudayaan dan agama di tatar Sunda membuktikan bahwa kerajaan Sunda memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan, penyebaran Islam di tatar Sunda sudah berlangsung sejak abad ke-14. (*)