Dijelaskan, dulu situs petilasan merupakan tempat penggemblengan pasukan Kesultanan Cirebon. Tujuannya, untuk menjaga perbatasan agar aman dari serangan musuh. Terkadang, Pangeran Pasarean menemui utusan dari kerajaan lain di tempat tersebut.
Dikisahkan, ketika Pangeran Pasarean dan para prajuritnya hendak menuju ke Gunung Ciremai. Ketika melintasi wilayah Sumber, rombongan berhenti di sebuah gundukan tanah seperti hubung. Pangeran Pasarean lalu menggoresan senjata Cis-nya ditempat tersebut.
“Dipercayai, goresan senjata Cis-nya Pangeran Pasarean berubah menjadi Sungai Cipager, sedangkan gundukan tanah tadi sekarang bernama daerah Gegunung,” sebut Hasan.
Baca Juga:Penyanyi Widuri Tutup Usia, Bob Tutupoly Dikabarkan Alami Stroke Presiden Jokowi Tunjuk Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Sebagai Menteri PAN-RB Ad Interim
Di tempat itu juga, tambahnya, rombongan sempat dihadang oleh Sang Ikul Tua yang berwujud macan dan bertempur. Setelah mengetahui jatidiri Pangeran Pasarean, mereka sepakat untuk saling menjaga keamanan dari serangan musuh.
“Sang Ikul Tua adalah telik sandi Kerajaan Padjajaran. Tempat kesepakatan menjadi perbatasan antara dua kerajaan, lalu dijadikan juga pusat pelatihan pasukan Kesultanan Cirebon sampai akhirnya menjadi situs Petilasan,” pungkas Hasan.
Meski keberadaan batu tersebut belum terungkap namun ‘Prasasti Tionghoa’ ini dengan sendirinya dapat membantah gagasan benturan peradaban Samuel Phillips Huntington, yang dikenal dengan sebutan the clash of civilizations, dan telah mewarnai jagad pemikiran selama lebih dari satu dekade. Mengutip Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, karya Tan Ta Sen mengungkapkan Laksamana Cheng Ho (Zheng He) sebagai Muslim yang dipercayai Kaisar Yung-Lo (Yongle) bersama kawan-kawannya mendirikan pusat Islam di tempat para pemukim Tionghoa Muslim dan pedagang. “Semuanya membantu dalam penyebaran Islam dan juga melibatkan sejumlah orang Tionghoa dalam perpolitikan Jawa dan Sumatera. Memang sulit diramalkan apakah ada banyak dokumen dan artefak yang dapat mendukung penjelasan ini. Namun, bisa jadi dalam konteks ini, menyertakan peran Cheng Ho menawarkan perspektif segar tentang serangkaian peristiwa sangat penting dalam sejarah maritim China,” kata Wang Gungwu dalam kata pengantar di buku tersebut.
Seluruh konsep baru, silang pendapat akan tetap muncul dan terus terjadi, sampai akhirnya ditemukan fakta dan data baru. (*)