“Zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi Leter C yang asli. Saya setuju, mafia tanah itu memang mafia hukum,” pungkasnya.
Sedangkan Irjen Pol (Purn) Ronny F Sompie menegaskan, mafia tanah adalah mafia hukum. Menurut pengalamannya sebagai penyidik, orang yang bisa merebut hak kepemilikan tanah pihak lain, tidak bekerja sendirian. Dalam urusan perkara perdata, orang itu pasti bekerja sama dengan oknum-oknum dari kalangan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain.
Katanya, sambil menjalankan perkara perdata, orang itu juga melakukan gempuran melalui media dan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana. Tekanan-tekanan seperti itu, bisa mengakibatkan penegak hukum bertindak menyimpang.
Baca Juga:Jejak Mangkubumi Mendirikan Keraton YogyakartaSiapa Pendiri Masjid Saka Tunggal yang Diyakini Dibangun Sebelum Majapahit?
“Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerjasama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat. Jadi memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum,” ujar Kadiv Humas Polri pada 2013 ini.
Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan, lanjutnya, sering mengakibatkan putusan perkara pertanahan menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan. Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok.
Sompie menegaskan, hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara secara materiil. Pembuktian selalu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan. “Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin. Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan,” pungkas mantan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM ini. (*)