Perjanjian itu akhirnya dilaksanakan di Giyanti, sebuah desa di sebelah tenggara Surakarta, tempat di mana Mangkubumi mendirikan istana sementara sebagai pusat perlawanan. Episode paling berdarah sekaligus melelahkan dalam sejarah Jawa sebelum pemberontakan Dipanegara berhasil diakhiri dengan jalan palihan nagari: membagi kerajaan Mataram menjadi dua.
Sejak itu, Pangeran Mangkubumi resmi menjadi raja di bagian selatan Kerajaan Mataram. Ia menahbiskan dirinya dengan gelar Sultan Hamengkubuwana (penguasa yang memangku jagat raya).
Dengan Perjanjian Giyanti, Mangkubumi digelari sultan untuk setengah wilayah Jawa Tengah, yang diakuinya sebagai suatu lungguh dari Kompeni. Putra-putranya diberi hak untuk mewarisi takhta,” tandas Ricklefs (hlm. 115).
Baca Juga:Siapa Pendiri Masjid Saka Tunggal yang Diyakini Dibangun Sebelum Majapahit?Di Mana Makam Sunan Kalijaga di Demak atau Tuban?
Sebuah keraton baru pun didirikan di dekat pusat Kerajaan Mataram zaman Sultan Agung.
Perpindahan dan Pembangunan Keraton Baru
Hamengkubuwana kini sudah sepenuhnya menjadi raja. Di bawah perintahnya, ada beberapa pejabat dan sekitar 40.000 kawula. Ia juga menguasai beberapa perangkat pusaka untuk meneguhkan simbol kekuasaannya. Tapi ada dua hal penting yang masih kurang untuk benar-benar mengukuhkan dirinya sebagai seorang sultan: ibu kota kerajaan dan uang.
Urusan duit, ia berhasil merayu Hartingh agar Belanda segera membayar uang muka dari sewa tanah pesisir. Konon, untuk mendapat uang itu, Hamengkubuwana meyakinkan residen VOC ini dengan susah payah.
Setelah persoalan duit selesai, Hamengkubuwana mulai melakukan ancang-ancang untuk memilih tempat di mana istana hendak dibangun. Sebenarnya, dua hari sebelum Perjanjian Giyanti disepakati, pada 11 Februari, ia sudah berkonsultasi dengan Hartingh perihal apakah VOC membolehkan dirinya memilih sebuah lokasi di Mataram sebagai istana. Seperti dituturkan Ricklefs, Hartingh menjawab sekenanya, “Ya, mengapa tidak” (hlm. 124).
Namun hanya tiga hari kemudian, Hartingh berbalik arah. Dia tidak berkenan jika Giyanti ditinggalkan. Pertimbangan utamanya, desa tersebut adalah kunci bagi perlawanan bersama terhadap Raden Mas Said (kelak mendirikan Kepangeranan Mangkunegara setelah Perjanjian Salatiga 1757) yang masih melancarkan pemberontakan. Hamengkubuwana hanya diizinkan pergi ke Mataram sebentar saja untuk memilih lokasi dan baru boleh pindah secara permanen setelah Said berhasil dikalahkan.