Paradoks inilah yang sedang kita alami. Walau begitu, politik tidak boleh menjadi malas hanya karena kondisi yang menjengkelkan itu. Analisis politik adalah satu soal. Tapi kehendak politik harus melampaui apa yang faktual. Dengan sikap itu, kita memerangi “ herd mentality” dalam politik kita hari-hari ini. Radikalisasi ini kita perlukan untuk memastikan opini publik bukanlah konsensus oligarki, parlementer, atau hasil olahan statistik.
Opini publik adalah hasil dari konfrontasi etik, antara kehendak perubahan dengan kepentingan privat. Disitu statistik hanyalah konfirmasi terhadap kehendak pembaruan. POLITIK kita memang sangat terasa kuantitif: mobilisasi massa, belanja iklan, black propaganda. Tidak tersisa lagi ruang ide dan debat rasional. Politik sebagai percakapan keadilan diantara warga yang setara tidak lagi berlangsung. Mobilisasi Cuma menyetarakan massa didepan panggung para demagog.
Dalam ruang kuantifikasi itu, warga negara sekadar dicacah sebagai konsumen, bukan prodsen demokrasi. Ia hadir dalam kerumunan, bukan ruang kewargaan. Ia sungguh-sungguh dinonaktifkan dari politik. Sesungguhnya, demokrasi kita sedang kehilangan ide kesetaraan. Kita memilih demokrasi karena kita pernah kekurangan kebebasan.
Baca Juga:Di Hadapan Jokowi, Vladimir Putin Ungkap Barat Kacaukan Produksi Pertanian DuniaDiplomasi Basa-basi Indonesia
Tapi kini ruang demokrasi itu sepenuhnya dikuasai oleh blok oligarkis. Proses itu terjadi karena politik telah diselenggarakan secara kuantitatif: yang dieksploitasi adalah kepuasan tentang ada yang didepan mata, bukan tentang apa yang harus ada sebagai hak. Mengaktifkan etika publik adalah upaya radikal mengembalikan politik warga.
Politik kuantitatif-demagogis tidak hanya bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, tapi juga merendahkan otonomi manusia. Ia menyelenggarakan keadilan dan kesetaraan agar otonomi itu tidak dimusnahkan oleh ambisi-ambisi kuantitatif: dari klaim keunggulan moral sampai keunggulan kapital. Etika politik bertujuan mencegah pembengkakan politik. Etika politik menghendaki politik tumbuh dalam keadilan. Survei politik masih akan berdatangan.
Distorsi opini masih terus diproduksi. Kurva lonceng masih akan meliuk-liuk. Tapi politik tetaplah hak publik. Yang etik tidak mungkin diserahkan pada statistik. Politik sejati tidak diukur berdasarkan probabilitas, melainkan determinitas setiap subyek yeng menghendaki demokrasi tumbuh. Ketika diminta mengomentari keruntuhan Imperium Romawi, Jeans Jacques Rousseau menjawab singkat “Etika politik adalah lambung demokrasi. Ia mencerna opini publik, lalu memisahkan mana opini bawaan, mana opini olahan.” Rocky Gerung. (*)