Memang demokrasi lebih sering dimanfaatkan oleh para demagog dengan menurunkan standar etika politik. Disitu opini publik diperlakukan sebagai komoditas dalam “industri demokrasi”, dan dipasarkan melalui lembaga-lembaga survei. Filosofinya diperoleh dengan cara pragmatis dari prinsip demokrasi itu sendiri: demi kebebasan kompetisi politik, manipulasi opini publik harus diterima sebagai suatu bentuk upaya persuasi. Sampai disitu politik masih menjadi urusan publik.
Artinya, sejauh manipulasi itu diedarkan di pasar informasi, ia terbuka untuk dipersaingkan. Demokrasi tetap percaya publik selalu memiliki cukup rasionalitas untuk menapis dan memilih. Bila pasar informasi itu dikendalikan oleh kepentingan politik yang sama, yang terjadi bukan sekadar manipulasi, tapi juga monopoli opini publik. Dalam pasar semacam ini, prinsip “caveat emptor” -teliti sebelum membeli- tidak berfungsi. Karena informasi tidak lengkap, tidak ada kesempatan memilih harapan.
Demokrasi lalu menjadi sekadar ruang transaksi oligarki tempat tukar tambah kepentingan segelintir orang. Apalagi politik kita pahami dari sudut pandang etik, yaitu tanggungjawab merawat kualitas demokrasi justru dibebankan kepada mereka yang secara akademis lebih mampu berfikir lurus dan panjang. Pada merekalah tuntutan atas kejujuran dan keadilan diharapkan: suatu etik “caveat venditor” –bahwa penjual jasa tidak menjual barang rongsokan.
Baca Juga:Di Hadapan Jokowi, Vladimir Putin Ungkap Barat Kacaukan Produksi Pertanian DuniaDiplomasi Basa-basi Indonesia
Agaknya, palang ini sudah lama roboh diterobos tubuh-tubuh bengak. OPINI publik adalah peralatan ekstraparlementer dengan kekuatan supraparlementer. Ia mampu memelorotkan pamor seseorang pemimpin, tapi juga dapat dipakai untuk menyembunyikan niat korup dari seseorang tokoh. Disinilah “kapital media” beroperasi.
Manipulasi dan monopoli opini publik, menjadikan demokrasi sekadar menjadi bagian dari industri media. Fungsi institusi demokrasi bahkan dapat diambil alih oleh industri media: tekanan politik dapat dinegoisasikan diruang redaksi, dan sebuah “talkshow” dapat berubah menjadi ruang pengadilan. Politik industri media ini jugalah yang menyebabkan demokrasi kita sekadar membengkak, tapi tidak tumbuh. Dalam demokrasi, setiap suara dihitung sama.
Tapi arah suara publik dapat dimanipulasikan oleh indutri opini publik karena informasi tidak terakses sama oleh publik. Distorsi inilah yang menjadi ruang transaksi antara pembuat survei dan kepentingan pemesan. Sekali lagi, argumentnya adalah prinsip kebebasan kompetisi politik. Dalam kondisi seperti itu, hubungan antara demokrasi dan opini publik menjadi tidak suci. Demokrasi memerlukan opini publik untuk mengetahui peta perebutan sumber-sumber ekonomi-politik, tapi demokrasi sekaligus dimanfaatkan sebagai ruang pembenaran ruang manipulasi.