BEBERAPA survei politik tentang elektabilitas calon presiden 2024 sudah mulai keluar. ada yang tiga-tiganya datang dengan hasil berbeda. Kelirukah metodologinya? Atau desain risetnya memang dirancang unutuk “memenangkan sang calon”.
Kurva lonceng adalah ideologi para surveyor. Dijamin standar baku metodologi, kurva itu seharusnya tidak meliuk-liuk berlebihan. Tapi sejak politik diasuransikan pada statistik, liuk kurva itu akan sangat bergantung pada premi para politikus.
Inilah kondisi politik hari ini: pertama, opini publik menjadi identik dengan hasil survei. Kedua, popularitas seorang tokoh hari ini tidak didebitkan pada cacat politiknya hari kemarin. Dua kondisi inilah yang menerangkan patologi politik kita hari ini: demokrasi tampak membengkak, tapi tidak tumbuh. Hiruk-pikuk debat publik sekadar menghasilkan bising, bukan suara. Politik kita silau oleh sensasi, tapi buta dalam substansi.
Baca Juga:Di Hadapan Jokowi, Vladimir Putin Ungkap Barat Kacaukan Produksi Pertanian DuniaDiplomasi Basa-basi Indonesia
Pembengkakan tubuh politik itu akibat muatan kuantifikasi: penggalangan, pencitraan, arogansi dan transaksi. Politik membengkak karena kekuasaan ditimbun dalam ambisi kepentingan personal, bukan dalam niat keadilan sosial.
Perlombaan inilah yang menumbuhkan industri opini publik dan sejak itulah politik menjadi urusan statistik. Apakah sesungguhnya substansi politik? Demokrasi adalah ruang opini publik. Kontestasi kepentingan diselenggarakan disitu.
Tapi ideal ini menghendaki prasyarat etik: seluruh latar belakang kepentingan harus dipamerkan terbuka. Dengan cara itu, politik diproduksi. Itulah politik yang otentik. Di belakang proses ini, bekerja nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang kini hilang dari proposal riset publik, dengan akibat juga tugas etis politik untuk memberdayakan“the unspeakable” yaitu mereka yang ada di pinggiran kurva lonceng. Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.
Palang otentik ini mungkin terlalu tinggi untuk dilompati para perancang opini publik. Teori propaganda memang mengajarkan bahwa lebih mudah menggiring “herd mentality” menerobos dibawah palang.
Artinya memanipulasi surivei politik melalui pembentukan opini publik memang sesuai dengan kondisi dasar psikologi massa: bergerombol tanpa ide, menunggu disuapi janji, lalu siap diperintah. Psikologi ini adalah lahan investasi para demagog. Dengan mengekspoitasi kedunguan publik, demokrasi masih dapat dipertanggungjawabkan dengan argument: “itulah kehendak mayoritas”.