Sebagaimana namanya, ‘Jongko’ adalah ‘Penjongko’ atau hal-hal yang direncanakan. Jadi ia hanyalah proyeksi; bukan ramalan. Karena ditulis dalam bahasa sastra, maka dikemudian hari pesan tersiratnya tak banyak ditangkap oleh masyarakat. Namun demikian, Belanda menangkap tujuan Kyai Kasan Besari ini. Belanda kemudian menjebloskannya kedalam penjara selama beberapa tahun.
Maka dari itu, penulisan kitab tersebut dilanjutkan oleh muridnya; Ronggowarsito.Lebih lanjut, menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga mengajarkan berbagai macam ilmu Kejawen dan ilmu Kesaktian.
Dalam laporan yang disampaikannya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan: “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah masa transisi Islam di Jawa”.
Baca Juga:Ketika Prabowo Subianto-Jokowi Salat Jumat Bareng Sheikh Mohamed bin ZayedKitab Tantupagelaran: Bumi Miring Penyebabnya Gunung Meru di India Terlalu Berat, Akhirnya Pindah ke Tanah Jawa
Selanjutnya, pesantren ini juga melahirkan sastrawan besar yang karyanya tetap melegenda lintas zaman. Bagus Burhan, yang dikemudian hari bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito telah mondok dipesantren ini sejak usia 12 tahun.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta yang terkenal dengan ramalannya tentang ‘Zaman Edan’ ini adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu Yasadipura II.
Seorang peneliti dari Jepang, Takashi Siraishi, dalam karyanya ‘Zaman Bergerak’ mengatakan: “Tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh R.Ng Ranggawarsita. Saat itu. melalui kemampuan bahasanya, ia melegitimasi kekuasaan”.
Menurut Takashi, pada zamannya, tulisan-tulisan Ronggowarsito sudah disebarkan melalui percetakan, bukan melalui naskah tulisan tangan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Dan juga, penikmat karya-karya Ronggowarsito bukanlah sekedar didalam lingkaran kraton, melainkan juga anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar.Dalam perkembangannya, pesantren ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama.
Diantaranya adalah Pakubuwono II, raja Kasunanan Kartasurya. Dia mengenyam pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ketika Kerajaan Kartasura sedang menghadapi ‘Geger Pecinan’. Pemberontakan kelompok Tionghoa tersebut dipimpin oleh cucu Sunan Mas yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Karena kualahan, Pakubuwono II terpaksa menyingkir kearah timur dan kemudian berlindung dipesantren yang diasuh oleh Kyai Ageng Mohammad Besari ini. Setelah ‘nyantri’ disana beberapa lama, Pakubuwono II akhirnya dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M.