‘Cambukan rotan, pukulan atau tendangan‘
Dalam temuan TPF, cambukan rotan biasanya dilakukan di pengadilan, segera setelah hakim menjatuhkan vonis.
Menurut orang yang diwawancarai TPF KBMB, cambukan rotan hanya dilakukan pada tahanan laki-laki yang berusia antara 19 sampai 50 tahun.
“Rasa sakitnya tak bisa dikatakan,” begitu salah satu kutipan dari laporan tersebut.
Baca Juga:Mulai 1 Juli 2022, Pembeli Pertalite Wajib Daftar ke Website MyPertamina, Begini PenjelasannyaPendeta Fernando Tambunan Ditembak Pria Misterius di Deliserdang
Ada juga hukuman-hukuman lainnya, berupa pukulan atau tendangan, yang dialamatkan kepada para deportan ketika melakukan kesalahan kecil di DTI.
“Satu-satunya bentuk hukuman yang kami temukan pada tahun 2020, namun kemudian tidak kami temukan lagi ada praktik penyemprotan menggunakan cairan disinfektan langsung kepada tubuh para tahanan.
“Berbagai bentuk hukuman lainnya masih terus berlaku sampai terakhir pemantauan kami lakukan pada bulan Juni 2022,” tulis TPF dalam laporan tersebut.
Selain penganiayaan, temuan TPF KBMB itu juga mengungkap kondisi lainnya, seperti depot yang penuh sesak, kotor, dan tanpa sinar matahari.
Lalu, kualitas makanan dan air yang tidak layak dikonsumsi, sampai dugaan pembiaran yang dilakukan petugas ketika tahanan mengalami sakit.
Dalam laporan itu disebutkan: “Ketika tahanan mengeluh lemas dan sakit, petugas seringkali meminta tahanan tersebut mengangkat tangannya ke mulut, sambil berkata “Masih bisa angkat tangan? Tak payah lah minta obat.”
Atau meminta tahanan untuk berdiri, jika tahanan bisa berdiri, maka akan dianggap keluhannya tidak perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kesehatan atau pemberian obat.
Baca Juga:Presiden Jokowi: G7 dan G20 Harus Atasi Krisis PanganPresiden Jokowi dan PM Narendra Modi Bahas Penguatan Kerja Sama Pangan
“Ketika keluhannya semakin memburuk, apapun keluhannya hanya akan diberikan paracetamol (panadol).
“Seluruh deportan yang kami wawancara mengatakan bahwa tahanan hanya akan dibawa ke rumah sakit ketika sudah dalam kondisi sudah sangat parah, ‘Tunggu sekarat, baru bawa pergi hospital’.”
Pengabaian itu dialami oleh deportan bernama Aris, menurut hasil wawancara beberapa deportan lainnya.
Sebelum meninggal, Aris mengeluh sakit, badannya lemas, dan beberapa kali mengalami pingsan. Namun, dia tidak kunjung mendapatkan perawatan kesehatan.
Pada 25 September 2021, pada pagi hari Aris kembali pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dua jam kemudian ia dinyatakan meninggal.
“Itu kan menunjukkan bahwa PTS (Pusat Tahanan Sementara—yang disebut Depot Tahanan Imigresen) gagal menyediakan layanan Kesehatan, gagal menghormati hak tahanan imigrasi untuk mengakses layanan Kesehatan yang tersedia di Sabah,” kata Abu.