Setidaknya, ada dua Gubernur Jenderal pada awal abad 19 yang mulai menyadari bahaya politik dari para haji: Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles.
Seperti diungkapkan Jacob Vredenbregt dalam Indonesia dan Haji (1997), pada 1810, Daendels mengeluarkan keputusan agar seorang haji (ia menyebutnya “pendeta Islam”) yang menghasut rakyat diberi paspor “untuk bepergian dari satu tempat di Jawa ke tempat lain guna menghindari gangguan” (hlm. 6).
Raffles, yang mewakili kolonialisme Inggris di tanah Jawa, serupa dengan Daendels: ia sangat tegas menyikapi fenomena para haji yang dianggapnya sering menghasut pembangkangan.
Baca Juga:New York Times Ungkap Aktivitas Rahasia CIA di UkrainaBerikut Daftar Nama Jalan yang Diubah, Anies Baswedan Gratiskan Ubah Dokumen Administrasi
Dalam bukunya yang sangat terkenal, The History of Java, ia bilang, “Setiap orang Arab dari Mekkah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci.”
Katanya lagi, “Karena mereka [para haji] begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa-penguasa pribumi” (hlm. 3).
Alasan menarik lain diungkapkan seorang pejabat tinggi kolonial. Sebagaimana dikutip oleh Vredenbregt, pejabat tersebut mengungkapkan analisisnya: “Kebanyakan orang itu, ketika kembali dari perjalanan haji, tidak lagi tertarik untuk kembali bekerja, dan menghabiskan waktunya dengan bersembahyang atau ritual-ritual keagamaan lainnya, sehingga bisa membebani sesama penduduk” (hlm. 8).
Dengan begitu, akan terbentuk segolongan orang yang memiliki banyak waktu luang dan memanfaatkan pengaruh keagamaan mereka untuk melawan pemerintah.
Beberapa dekade kemudian, pada 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
Dari sinilah sebenarnya dimulai penyematan gelar haji, juga atribut fisik yang melekat pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, kepada penduduk pribumi.