GELAR dan penyebutan haji otomatis melekat pada orang-orang yang pernah melakukan rukun Islam kelima itu. Kadang gelar itu berdampak pada perubahan status sosial bagi yang memilikinya. Ada aura kesalehan yang melekat pada gelar itu. Karena itu tak sedikit yang merasa bangga dipanggil “haji”.
Jika Anda tak percaya, tengok saja deretan poster kampanye para caleg atau iklan dukun di surat kabar atau ustaz-ustaz yang sering nongol di televisi. Hampir selalu ada huruf “H” di depan nama mereka. Gelar haji adalah pengabsah: mereka dianggap sebagai muslim saleh bila sudah menyandangnya.
Dari mana sebenarnya penyebutan haji ini bermula?
Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) masih bercokol, pegawai-pegawai kongsi dagang itu tidak pernah melihat ibadah haji dari sudut pandang politik. Sikap mereka ditentukan hanya oleh urusan dagang. Perjalanan orang-orang Nusantara ke Mekkah membawa keuntungan ekonomi bagi VOC yang menyediakan kapal-kapal.
Baca Juga:New York Times Ungkap Aktivitas Rahasia CIA di UkrainaBerikut Daftar Nama Jalan yang Diubah, Anies Baswedan Gratiskan Ubah Dokumen Administrasi
Haji mulai menjadi perhatian hanya jika terjadi gejolak karena faktor agama. F. de Haan menyinggung soal ini dalam Priangan: De Preanger-Regentschappen onder Het Nederlandsch Bestuur tot 1811 Jilid II (1912): “Pemerintah tampaknya baru mau memikirkan Islam bila ada alasan untuk mencemaskan pengacauan ketertiban melalui peristiwa-peristiwa keagamaan yang mencolok.”
Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.
Latar belakang Ordonansi ini menarik. Pada 1824, terjadi lonjakan pengajuan paspor haji ke kantor imigrasi. Sebanyak 200 lebih penduduk pribumi mendaftar. Pemerintah tentu saja bingung jika kelak harus memadamkan 200 potensi pemberontakan sekaligus.
Wasangka itu berdasarkan pandangan bahwa 200 orang itu kelak membawa pikiran-pikiran baru yang, jika diedarkan di kalangan rakyat, bisa memicu perlawanan.
Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan-pemberontakan petani sepanjang paruh kedua abad 19 dipelopori oleh para pemuka agama dan haji. Ini membuat pemerintah bukan hanya menganggap haji sebagai urusan penting, melainkan penuh kewaspadaan.