Mereka yang disebutkan namanya diperingatkan bahwa pandangannya akan merugikan karier mereka. Daftar tersebut menunjukkan bahwa lembaga negara melakukan pengawasan ekstensif terhadap sektor publik, tulis Gregory Fealy dari Australian National University.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo telah memperingatkan PNS bahwa pemerintah dapat mendeteksi “jejak digital” mereka. Pemerintah membenarkan intruksi semacam itu dengan mengklaim bahwa ekstremisme Muslim “menembus jauh ke dalam organ-organ negara, mengakibatkan penangkapan seluruh bagian birokrasi”, tulis Fealy.
Kekhawatiran tentang radikalisme memiliki beberapa manfaat. Namun, klaim pemerintah atas penangkapan negara oleh para ekstremis dilebih-lebihkan. “Tidak ada bukti yang menunjukkan prevalensi sistemik terorisme atau ekstremisme kekerasan dalam pegawai negeri,” kata Sana Jaffrey dari Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah think-tank di Indonesia.
Baca Juga:Pasukan Ukraina Ditarik Mundur dari Sievierodonetsk3 Meninggal Dunia, Bus Pariwisata Membawa 60 Siswa SD Terjun ke Jurang Sedalam 25 Meter
Peneliti di Iseas Yusof Ishak Institute, sebuah think-tank di Singapura, A’an Suryana, mengatakan, dalam dua tahun pertama kampanye anti-ekstremisme pemerintah secara resmi menjatuhkan sanksi hanya kepada 38 PNS. Angka itu merupakan persentase yang sedikit dari 4,3 juta PNS di Indonesia.
Hal itu menandakan pemerintah menggunakan definisi “radikalisme” yang luas. Membuat pernyataan yang “menghina” pemerintah, atau membagikan apa yang dianggap oleh satgas sebagai “berita palsu” di media sosial sudah cukup untuk menarik perhatiannya. Kriteria samar-samar, pada gilirannya, membuat pemerintah mudah untuk mengesampingkan lawan dengan menuduh mereka sebagai ekstremis.
Pada September 2021, sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi korban, karena secara langsung ketika mereka dipecat dengan dalih tidak lulus ujian PNS (Tes Wawasan Kebangsaan). KPK selama ini dikenal gigih membasmi korupsi di eselon tertinggi politik Indonesia, menciptakan musuh yang kuat.
Setelah pemecatan pegawai KPK, selebriti di media sosial yang memiliki hubungan dengan pemerintah mengatakan bahwa anggota KPK yang dipecat adalah anggota Taliban. Salah satu mantan pejabat KPK yang masuk daftar anggota Taliban, Giri Suprapdiono, mengatakan dirinya dan rekan-rekannya justru diberhentikan karena menolak tunduk kepada pemerintah.
Tetapi banyak anggota masyarakat, kata dia, percaya klaim bahwa mereka “radikal”. Hal itu tentu tidak masuk akal. Menurut Giri, justru beberapa dari mereka yang kehilangan pekerjaan di KPK, bahkan bukan Muslim.