SUNAN Gunung Jati dan Fatahillah dalam penulisan sejarah ada yang menyimpulkan sebagai sosok yang sama. Padahal di kompleks makam Gunung Sembung Desa Astana, Cirebon, ada makam Sunan Gunung Jati yang bersebelahan dengan makam Fatahillah. Dari fakta ini jelas menunjukkan dua orang yang berbeda.
Sejarawan yang menulis dua nama itu sebagai sosok yang sama misalnya sejarawan Belanda HJ de Graaf dan TH Pigeaud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa berkesimpulan sama yang merujuk kepada penelitian Hoesein Djajadiningrat tentang Sejarah Banten.
Sejarawan de Graaf berdasarkan buku Hoesein Djajadiningrat Sejarah Banten menulis, orang suci dari Gunung Jati itu bernama Nurullah. Kemudian terkenal dengan sebutan Syeikh Ibnu Molana. Penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril yang menurut Djajadiningrat merupakan satu orang saja.
Baca Juga:Hari Ini 495 Tahun Lalu, Pasukan Cirebon-Demak Usir Portugis di Sunda KelapaKerusakan Hutan Mangrove di Pantura Jabar Capai 43.000 Hektar
Dia berasal dari Pasai, Aceh. Ketika Pasai dikuasai orang Portugis tahun 1521, Nurullah pergi haji ke Mekkah. Tiga tahun di Mekkah kemudian pulang menuju kerajaan Demak diterima oleh Raja Trenggana. Karena pengetahuannya tentang Kesultanan Turki dia menganjurkan memakai gelar sultan dan menjalin hubungan diplomasi dengannya.
Nurullah lantas dipercaya menjadi panglima pasukan dan diutus ke Banten untuk menguasai daerah pelabuhan penting itu dari Kerajaan Pajajaran. Setelah Sultan Trenggana wafat dalam ekspansi perang ke Pasuruan, Nurullah menetap di Cirebon. Banten diserahkan kepada anaknya Pangeran Hasanuddin.
Cerita di atas ada yang tak nyambung. Karena Sunan Gunung Jati disebutkan mengabdi kepada Sultan Trenggana. Semestinya hidup sezaman Raden Patah di masa awal pendirian Kerajaan Demak bersama wali sanga lainnya. Karena itu orang yang disebut diterima Sultan Trenggana dan ditugaskan ke Banten paling sesuai adalah Fatahillah.
Buku Sejarah Cirebon ditulis Pangeran Suleman Sulendraningrat bersumber dari Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan, ada dua nama dalam sejarah Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati dan Fadhilah Khan yang kemungkinan sebutan lain untuk Fatahillah. Dari nama Fadhilah Khan itu juga kemungkinan munculnya nama Falatehan, yang disebut orang Portugis Joao Baroso.
Kisah Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, putra dari Rara Santang alias Syarifah Mudaim, putri Prabu Siliwangi. Ibunya berganti nama Syarifah Mudaim setelah naik haji dan menikah dengan Syarif Abdillah alias Maulana Sultan Mahmud yang berkuasa di Ismailyah, Mesir.