Terlepas dari itu semua, apapun pilihan penggede keraton Cirebon untuk saat ini, di tengah negara bangsa Indonesia, seyogyanya harus menjadi alat perekat bersama wong grage. Jangan ada lagi friksi kepemimpinan kultural dalam ranah kebudayaan di lingkungan keraton Cirebon. Beda atau tidak dengan kerajaan lain di Indonesia saat ini justru karena mampu melakukan aktualisasi kebudayaan klasik dengan kontemporer. Keraton harus menjadi salah satu pilar penting dalam gerak pembangunan pasca reformasi di tengah pandemi ini. Kebutuhan akan keraton saat ini adalah penjagaan pada nilai-nilai historis pada masanya untuk dapat diejawantahkan dalam kehidupan global.
Oleh karena itu, apabila terjadi pergantian kepemimpinan kultural di keraton Cirebon, sudah saatnya mengajak kembali unsur-unsur penting dalam sejarah Sunan Gunung Jati, seperti pengasuh pesantren, para intelektual/akademisi, tokoh masyarakat yang berpengaruh dan berkemampuan istimewa. Sebab, melalui orang-orang semacam itulah pada masa Sunan Gunung Jati, Cirebon menjadi parameter penting secara kebudayaan di dunia. Atas fenomena yang ada, bukan saatnya lagi, kita menonjolkan egoisme sektoral, sebab keberhasilan hari ini ditentukan oleh profesionalisme, distingsi/keunikan, dan rekognisi semua unsur dalam keadaban di dunia. Sejarah Cirebon bukan semata lagi, milik wong grage, tetapi wong sakabehane bagian dari global village.
Penulis, Ayus Mahrus El-Mawa, Dosen UNUSIA