Dengan kata lain, basi-basi ingin memperjuangkan kepentingan publik dan “blablabla” sejenis lainya dari politisi harus dimaknai dalam perspektif untuk mencapai tujuan terselubungnya. Nah, dalam kontek itulah pencitraan kemudian menjadi sangat penting alias menjadi senjata kelas satu para politisi dalam berpolitik dan mengakali demokrasi agar seolah-olah terlihat sedang memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Para pengamat sering menyebut hal ini sebagai pendekatan post truth. Namun menurut James Ball ternyata tidak semata mata itu saja. Karena itu James memberi judul bukunya “Post Truth: How Bullshit Congquered The World.” Dimana pencitraan pada dasarnya adalah kebohongan, atau “bulshit” yang dipoles dengan kesan-kesan kebenaran untuk menutupi agenda yang sebenarnya.
Meskipun tidak semua demikian adanya tetapi ketika jualan politik berbau citra hadir mengerumuni ruang maya, maka pertanyaanpun sontak mengemuka :”Benarkah apa yang dinyatakannya ? Jujurkah orang-orangnya?” dan sebagainya.
Baca Juga:Korem 063/SGJ Resmi Buka Liga Santri di Stadion PurnawarmanHamilton Spa Gelar Pesta ‘Bungkus Night’ Disegel Polisi
Pertanyaan tersebut wajar wajar saja mengingat selama ini dunia politik itu identik dengan komunitas dusta.Penilaian bahwa politisi adalah pembohong saat ini seolah-olah telah menjadi aksioma, tak terbantahkan adanya.
Pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia suka menilai politisi merupakan individu yang hanya pintar menipu dan mengumbar perkataan dusta ?. Apakah semua itu berangkat dari pengalaman yang selama ini mereka rasakan selama berhubungan dengan politisi dilingkungannya ?. Apakah benar politik identik dengan kebohongan sebagai intrik demi mengelola kepentingan yang ada?
Dalam kajian kebudayaan, pencitraan selalu dipercaya sebagai bagian dari tindakan politik dimana citra yang dibangun selalu imajiner, sesuatu yang dibayangkan, dan karena itu bukan yang sebenarnya atau bukan yang sesungguhnya. Bahwa citra diproduksi melalui relasi kuasa yang tidak sepada atau tida setara.
Dalam sejarah kita, politik pencitraan seperti itu berlangsung sejak lama yang sampai kini pun masih mewarnai kehidupan kita. Jika kolonial Barat mencitrakan bahwa penduduk pribumi adalah ‘tidak berbudaya’, kaum terpelajar memandang bahwa mereka yang tak sekolah adalah terbelakang bahkan primitif, maka kaum beragama mayakini bahwa mereka yang tidak saleh atau penganut agama lain adalah kafirin, musyrikin, dan munafiqin atau sebutan lainnya.