Setelah sempat menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden, ia berhasil memasuki Mekah pada 1885 dengan batuan Gubernur Ottoman di Jeddah.
Di Mekah, Snouck Hurgronje mendapatkan bimbingan dari para ulama untuk belajar tentang Islam dan sempat belajar bahasa Melayu.
Karena kemampuan berbahasa Arab dan pengetahuan yang luas tentang Islam, ia pun sering dikira sebagai seorang muslim.
Baca Juga:Intelijen Belanda Ungkap Mata-Mata Rusia yang Menyusup ke Pengadilan Kriminal InternasionalPertemuan Retno Marsudi-Subramanyam Jaishankar Bahas Penghinaan Nabi Muhammad
Lewat sebuah surat yang dikirim kepada temannya, Snouck Hurgronje mengaku bahwa dirinya berpura-pura masuk Islam.
Pada 1889, Snouck Hurgronje dikirim ke Indonesia dan ditunjuk sebagai peneliti pendidikan Islam dan profesor bahasa Arab di Batavia.
Karena pengetahuannya tentang agama Islam dan pengalaman bergaul dengan orang-orang Aceh, ia dipandang sebagai seorang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam penaklukan Aceh.
Meski sempat mendapatkan rintangan dari gubernurnya, dengan dukungan dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia Snouck Hurgronje berhasil masuk Aceh pada Juli 1891.
Tujuan Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje ke Aceh adalah untuk melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan kelemahan masyarakat Aceh.
Di Aceh, Snouck Hurgronje menyamar sebagai ulama dengan nama muslim Abdul Gafar.
Selama tinggal di tengah-tengah rakyat di Peukan Aceh dan menjalin hubungan dengan tokoh adat serta para ulama, ia menulis lebih dari 1.400 laporan tentang situasi di sekitarnya.
Baca Juga:Jejak Kasus Perundungan Kekerasan Berujung Tewasnya Siswa MTsN di SulutKPK Tegaskan Putusan Bebas Samin Tan Bakal Jadi Preseden Buruk Pemberantasan Pidana Rasuah
Dari berbagai analisis yang dibuatnya, Snouck membantu Belanda dalam Perang Aceh (1873-1913). Snouck yang merupakan akademisi Universitas Leiden menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan untuk membantu Belanda menghancurkan perlawanan penduduk Aceh.
Belanda pun mampu mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50 ribu dan 100 ribu penduduk Muslim Aceh tewas dan sekitar satu juta terluka. Kekalahan Aceh juga seiring dengan melemahnya Kesultanan Utsmaniyah, yang selama ini kerap memberi bantuan. (*)