Novel ini mengisahkan perjalanan hidup seorang gadis bernama Sayu yang menjadi korban perampokan dan penculikan di tengah-tengah kelompok penyamun. Dalam novel tersebut dikisahkan pertemuan Sayudengan Medasing, seorang pemimpin penyamun.
Pertemuan itu berawal ketika keluarga perawan itu dirampok oleh Medasing dan Medasing menculik Sayu. Pada suatu peristiwa Medasing mengalami luka berat dalam sebuah tindak perampokan.
Dalam keadaan luka parah itu, Medasing dirawat oleh Sayu hingga sembuh. Berkat sikap manusiawi anak gadis itu, sang penyamun akhirnya menginsafi dosa yang diperbuatnya. Pada akhirnya, sang gadis dengan sang penyamun saling jatuh cinta dan membina rumah tangga bahagia.
Baca Juga:Soal Mortir dari Serbia, BIN Bantah Tudingan Kelompok Pemantau Senjata yang Berbasis di LondonPernyataan Mengejutkan Selebgram Ayu Thalia di Persidangan, Tidur Bareng dengan Nicholas Sean
Dalam perkembangannya, yakni tahun 1962, novel Anak Perawan di Sarang Penyamun ini difilmkan oleh Usmar Ismail. Setelah difilmkan, novel tersebut menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Pengamat film, Duduh Durahman (1970), mengatakan film “Anak Perawan di Sarang Penyamun” yang disutradarai oleh Usmar Ismail pesannya jauh lebih mencuat daripada pesan dalam novelnya. Dengan difilmkannya cerita novel seperti Anak Perawan di Sarang Penyamun, dapat diambil manfaat yang banyak, antara lain, memperkenalkan sastra ke meia yang lebih luas dan memperkaya dunia film kita sendiri.
Usmar Ismail (1964) menyatakan film “Anak Perawan di Sarang Penjamun” pada saat pembuatannya tidak memikirkan hubungan film itu dengan pengarang novelnya karena pada saat itu Sutan Takdir Alisyahbana adalah sastrawan yang tidak punya tanah air. Sutan Takdir Alisyahbana ada di Malaysia, padahal hubungan antara Indonesia dan Malaysia pada saat itu tidak baik (konfrontasi).
Anak Perawan di Sarang Penjamun sebagai novel sangat berbeda dengan filmnya. Cerita aslinya tidak memerinci watak pelaku, sedangkan Usmar Ismail dalam versi filmnya memberikan watak yang jelas kepada tokoh pendukung cerita.
Usmar mengakui film “Anak Perawan di Sarang Penyamun” yang difilmkan itu sesuai dengan selera film yang tidak realis dan hanya segi romantisnya yang ditonjolkan. Idrus (dalam Zuber Usman, 1972) berpendapat pada umumnya hal yang dibeberkan pengarang dapat diterima akal sehat, intelegensi, dan rasa keindahan kita.
Karena itu, buku ini bukanlah cerita biasa saja, melainkan roman sebenar-benarnya. Soal yang diperbincangkan adalah soal yang segar dan aneh, tetapi sungguh pun begitu, dapat diterima dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan perbendaharaan ilmu jiwa. (*)